Jumat, 25 Agustus 2017

Akademik vs Non Akademik



Nilai bukan hanya berarti score tapi juga value. Bukan hanya tentang angka tapi juga tentang makna.

Bisa jadi, saya adalah salah satu mahasiswa yang cepat puas terhadap nilai. Waktu S1 dapat nilai B saja sudah sangat senang, yang penting mah lulus. Disaat teman-teman yang lain belajar mati-matian untuk mendapat nilai A, saya masih anteng-anteng saja belajar sambil berkegiatan diluar aktifitas akademik. Hingga nilai akhir di IPK keluar 3.50. kurang 0,1 hingga mendapat predikat cumlaude. Namun apalah daya, bukankah hasil selalu berbanding lurus dengan usaha? Alhamdulillah banget sih dapat nilai 3.50, setidaknya dalam berbagai seleksi. Baik pekerjaan maupun beasiswa, bisalah masuk dalam kualifikasi. Kuliah jalan, organisasi dan berkomunitas pun berjalan.

Sekarang, saat mengecap pendidikan sedikit lebih tinggi. Tingkat kesulitan pun bertambah. Apalagi kuliahnya di salah satu kampus idaman, pun juga kuliah hasil dari uang “pinjaman” rakyat. Ada beban moril dan tanggung jawab besar yang mesti di emban. Tak bisa lagi semena-mena dalam proses perkuliahan. Ada “hutang” yang harus dibayar dengan prestasi dan kontribusi.

Niatnya, saat duduk dibangku pascasarjana rasanya ingin vakum dari berbagai hal diluar kampus, dan fokus belajar seperti mahasiswa kebanyakan. Belajar serius - dapat IPK tinggi - lulus cepat - dapat kerja. Tapi yah, jiwa untuk terus berkegiatan diluar kegiatan akademik terus meronta-ronta. Ya mau gimana lagi, harus dijalani dua-duanya. Belajar sekuat tenaga untuk terus menyelaraskan antara keduanya tanpa melupakan tujuan utama. Kuliah adalah prioritas, dengan tanggung jawab moril harapan jutaan rakyat Indonesia. Bagiku, prestasi akademik dan IPK tinggi itu penting, tapi berkegiatan non akademik pun tak kalah pentingnya.

Suatu saat nanti, yang akan membantu pasca kuliah adalah jaringan pertemanan yang dibangun ketika proses perkuliahan, yang akan sangat bermanfaat dalam dunia kerja nantinya adalah pengalaman. Dan pengalaman tidak sepenuhnya didapatkan didalam ruang perkuliahan, tapi banyak didapatkan diluar kelas. Kelak yang akan terceritakan adalah pelajaran kehidupan, bukan prosses belajar mengajar di kelas. Pelajaran akademik hanya sepersekian persen yang digunakan di dalam dunia kerja, IPK tinggi hanya akan menjadi bobot penilaian dalam formalitas penerimaan seleksi baik kerja maupun beasiswa. Tapi setelah itu yang memberikan kontribusi besar adalah pengalaman nyata, bukan hanya teoritis.

Semoga mampu menyeleraskan keduanya, sehat-sehat terus untuk menjalankan keduanya dengan maksimal, belajar untuk memanajemeni waktu dan semoga mampu menyanggah cibiran kaum sinisme dengan prestasi akademik dan non akademik yang terbaik. Semoga

Selasa, 22 Agustus 2017

Benarkah?



Hidup adalah pilihan. Sering sekali kita mendengar teori kalo hidup itu pilihan. Dan tak jarang pula teori hanyalah berhenti di teori, terbentur oleh realitas. Dulu, saya sering berfikir bahwa hidup itu memang harus memilih. Kita punya hak atas hidup yang  kita jalani, mau dibawa kemana dan bagaimana, itu adalah sepenuhnya hak kita yang melakoni. Namun, waktu mengajarkan banyak hal. Waktu membuktikan bahwa hidup adalah pilihan mungkin hanyalah sebatas teori.

Terkadang kita harus menjalani sesuatu, bukan karena memilih untuk menjalani. Tapi karena harus menjalani. Terkadang, kita harus pergi. Bukan karena memilih untuk pergi, tapi karena memang harus pergi. Terkadang, kita harus meninggalkan, bukan karena tak ingin lagi bersama, tapi karena pergi adalah sebuah keharusan.

Lantas, masihkah berlaku teori hidup itu adalah pilihan? Disaat kita tak punya lagi hak untuk menentukan hal yang harus kita jalani dalam hidup kita? Biarkan waktu yang menjawabnya. Rangkaian proses kehidupan akan menjawab berbagai teka-teki yang dulu dan atau sekarang masih sebatas pertanyaan. Lets enjoy the life.

Kamis, 17 Agustus 2017

Masih tentang jarak



Kita tidak berpisah, hanya berjarak.

Sing : Aku hanya pergi, tuk sementara. Bukan tuk meninggalkanmu, selamanya. Aku pasti kan kembali, pada dirimu tapi kau jangan nakal, aku pasti kembaliii.

Aku pergi untuk memantaskan diri, agar aku tak lagi krisis identitas, agar aku mempunyai “status”. Hahaha.

Berat, sangat berat buatku. Meninggalkan segala hal yang telah kita bangun bersama. Sesuatu yang sama-sama kita mulai dari nol. Dua hal bagiku yang sama-sama berat kutinggalkan. Aku tak memungkin memilih, karena sekarang aku tak punya kuasa untuk itu. Ini bukan sebuah pilihan, ini adalah keharusan yang mesti kujalani. ini adalah mimpi yang sejak dulu kubangun. Mimpi yang sekarang menjadi nyata. 

Dari sekian banyak hal, kamu adalah sesuatu yang paling berat kutinggalkan. Aku takut jarak akan membuatmu berubah. Aku takut kenyamanan yang sudah begitu lekat menguap karena jarak. Aku takut kamu akan melupakanku karena ragaku tak lagi mampu untuk bersua.

Maafkan aku yang belakangan ini sering baper, aku hanya takut kehilangan. Aku hanya takut kau berubah. Aku hanya tidak mau kau tidak lagi menganggap keberadaanku karena adanya jarak.

Terima kasih untuk loyalitas yang masih membara, terima kasih untuk semangat yang tak pernah pudar, terima kasih untuk komitmen yang masih terjaga. Dan terimakasih karena jarak, karenanya aku mengerti arti sebuah kehadiran dan rindu.

Terucap doa yang tiada henti, kepada sang maha segalanya. Untukmu, untukku, untuk kita yang akan selalu ada, yang akan terus bertahan dan yang akan terus saling menguatkan.

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...