Jumat, 30 Desember 2022

Recap 2022

 

Wah, sudah penghujung 2022. Time flies fast. Tak bosan-bosan menulis kata-kata ini sebagai kalimat pembuka, karena ya waktu terasa sangat cepat berlalu. Ada banyak sekali hal yang terjadi di 2022, ada banyak sekali pergulatan emosi yang muncul, ada banyak kegagalan, kekhawatiran, kebahagiaan, rejeki, dan banyak nano nano kehidupan yang lain di 2022. Yuk kita coba merangkum sesuatu yang terjadi selama 2022.

Seperti dua tahun sebelumnya, setiap awal tahun selalu diawali dengan syukuran Panrita. Alhamdulillah tahun ini masuk tahun kelima. Wah ternyata sesuatu yang awalnya dibuat iseng untuk tujuan sosial bisa bertahan sampai sekarang, sampai tahun kelima dan semoga sampai selamanya. Tanggal 2 Januari kami berkumpul di tempat baru Panrita untuk merayakan syukuran 5 tahun Panrita, sebuah perayaan sederhana sarat makna. Alhamdulillah.

Tahun ini Panrita sedikit mati suri karena tidak terlalu banyak program yang berjalan, tidak ada pembukaan CPNS, sekolah kedinasan hanya ada satu kelas reguler dan satu kelas beasiswa, sisanya hanya kelas TPA dan BUMN, tapi meski begitu kami tetap bersyukur bisa survive dan alhamdulillah tahun ini setelah bolak balik mengurus sana sini akhirnya Panrita sudah resmi terdaftar sebagai sebuah lembaga kursus.

 Pertengahan bulan Januari saya dan Ani berangkat liburan ke Lombok, bulan yang tidak tepat untuk melakukan liburan outdoor karena sedang musim hujan, tapi hanya bulan ini yang paling pas untuk kami liburan sebelum berjibaku dengan kesibukan masing-masing. Liburan kali ini cukup panjang dimulai dari Lombok, di Lombok kami menghabiskan waktu selama 5 hari 4 malam dan hanya 1 hari yang betul-betul cerah hahaha. Ini mungkin menjadi sebuah tanda untuk kami agar kembali liburan lagi ke Lombok suatu saat nanti. Setelah Lombok kami melanjutkan perjalanan menuju ke Labuan Bajo, sebuah perjalanan nekat yang kami jalani demi bisa menyaksikan secara langsung keindahan Pulau Komodo. Perjalanan ini ditempuh menggunakan jalur darat dan laut dari Mataram menuju ke Labuan Bajo. Kami menghabiskan waktu 4 hari 3 malam di Labuan Bajo dan alhamdulillah di sini kami bisa menikmati matahari yang cerah. Dari Labuan Bajo kami ke Yogyakarta lewat Surabaya. Jadi perjalanan Labuan Bajo – Surabaya lalu lanjut naik kereta menuju ke Yogyakarta. Di Yogyakarta kami melanjutkan liburan. Jaya, Fitri, dan Rayhan datang juga ke Yogyakarta untuk berlibur. Ada beberapa destinasi wisata yang kami datangi, mulai dari Heha, Tumpeng Menoreh, Bhumi Merapi, naik jeep, dan mengakhiri perjalanan di Jogja dengan menikmati sunset sambil membuat video di Candi Keraton Ratu Boko.

Setelah perjalanan di Yogyakarta, kami berempat (Saya, Jaya, Fitri, dan Rayhan) melanjutkan perjalanan ke Bandung untuk menemui Siti dan keluarga kecilnya. Di Bandung, kami menghabiskan waktu bersama dan jalan-jalan di Lembang Wonderland. Dua hari kami di Bandung dan kami melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Kali ini kami mencoba naik kereta lokal dari Bandung ke Bekasi, lalu melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Di Jakarta saya nginap di kost Ana yang saat itu masih kerja di Bappenas. Dari Jakarta kami ke Rangkasbitung, nginap di Serang dan ikut survey persiapan Bakti Negeri 2 Sinesia. Setelah semingguan di Jakarta-Banten saya kembali ke Makassar. Awalnya ada rencana untuk ke Kalimantan, hanya saja waktu itu dapat kabar dari Liza kalau dia covid dan sebelumnya saya cipika cipiki dengan Liza, jadi daripada beresiko terpapar atau menularkan covis saya memilih untuk langsung pulang ke Makassar.

Saat beberapa hari setibanya di Makassar saya merasa berada di titik bawah kehidupan, merasa tidak layak, merasa useless, merasa tidak cukup, dan banyak sekali energi negatif yang berseliweran di kepala. Apalagi saat itu merasa tidak memiliki pekerjaan yang layak, Panrita tidak ada kelas sehingga saya tidak memiliki kesibukan yang akhirnya ada banyak waktu kosong, tidak ada pemasukan, melihat teman-teman sudah mendapat pekerjaan yang bagus dan sudah berkeluarga, tak ayal ini membuat kepercayaan diri dan harga diri tergerus habis-habisan.

Akhir Maret saat saya iseng buku buka grup WhatsApp saya melihat ada lowongan pekerjaan sebagai teacher assistant di Stella Gracia School yang dikirim oleh Amma. Saat itu saya langsung menghubungi Amma dan menanyakan terkait lowongan tersebut dan langsung mengirimkan CV. Saat itu saya berpikir tidak peduli tentang gaji atau pekerjaannya, saya hanya ingin mendapat pengalaman dan menambah aktivitas. Berselang beberapa hari kemudian saya langsung dihubungi oleh kepala sekolah untuk wawancara dan menanyakan kesediaan untuk segera bergabung. Awal April saya langsung bergabung di sekolah sebagai teacher assistant. Di sini, saya mendapat sangat banyak pengalaman, saya terlibat secara langsung menjadi bagian di sekolah bagus, melihat bagaimana sistem dan fasilitas yang ada di sekolah, kehidupan anak-anak orang kaya, dan bagaimana konsep toleransi di sekolah yang mayoritas Tionghoa.

Akhir Mei semua teacher assistant diinfokan oleh kepala sekolah bahwa kemungkinan besar tahun ajaran depan tidak ada lagi program TA. Jadi teman-teman yang masih ingin berada di SGS bisa mendaftar sebagai guru atau mencari pekerjaan di luar untuk second option. Saya memilih untuk mendaftar menjadi guru bahasa Indonesia, alasannya sederhana karena saya berfikir bahwa waktu kurang dari dua bulan saya di SGS saya merasa belum belajar banyak. Tapi ternyata hasilnya saya tidak lulus, sebuah hasil yang saya syukuri di kemudian hari. Oh iya, salah satu alasan saya mendaftar di SGS waktu itu selain untuk belajar juga untuk menguji diri saya seberapa jauh saya bisa bertahan di sebuah sistem dan waktu kerja pagi sampai sore setiap hari. Setelah saya terlibat dalam sebuah sistem saya menyadari bahwa tidak semua sistem buruk, tergantung sistem itu diisi oleh orang-orang yang seperti apa. Dan saya menyadari bahwa ternyata saya tidak cukup kuat untuk bekerja penuh waktu dari Senin sampai Jumat. Saya merasa tidak memiliki kehidupan yang lain. Apalagi waktu itu saya juga mengajar kelas malam di Speaktive. Jadi saya merasa hidup saya hanya untuk bekerja, tidak ada waktu untuk bersosialisasi. Hal ini membuat saya tidak merasa hidup. Jadi kegagalan saya menjadi guru di SGS membuat saya bersyukur karena saya tidak harus bekerja sepenuh waktu dari pagi sampai sore.

Akhir Mei, saya menghubungi Kak Nunu untuk menanyakan terkait lowongan tutor di Alekawa. Ternyata kebutuhan dua tutor semuanya sudah dipenuhi. Jadi saya flashback sedikit di bulan Maret. Saya sempat menanyakan terkait lowongan tutor di Alekawa, tapi waktu itu Kak Nunu bilang akan dibuka tapi belum. Saat bulan pertama saya di SGS Kak Nunu menghubungi saya terkait penerimaan tutor di Alekawa, waktu itu saya menimbang-nimbang di mana saya bisa belajar lebih banyak antara Alekawa atau SGS, dan setelah menimbang-nimbang saya memutuskan untuk bertahan di SGS karena saya merasa bahwa saya harus menyelesaikan dengan baik sesuatu yang sudah saya mulai. Ternyata akhir Mei ada informasi dari SGS kalau program TA ini kemungkinan besar tidak akan dilanjut. Saat mendengar kabar tersebut saya langsung menghubungi Kak Nunu dan ternyata di Alekawa pun penerimaan tutor sudah ditutup. Saya berpikir “oh ya sudah, ini mungkin jalan terbaik, Allah adalah sebaik-baik perencana dan saya ikhlas atas segala ketentuan-Nya”. Tapi saya tetap mengirimkan CV dan mengabari Kak Nunu bahwa “tidak apa-apa kak kalau sudah tutup, tapi saya tetap mengirimkan CV jika mungkin tahun-tahun depan ada pembukaan lagi CV saya sudah ada di email”. di Beberapa hari kemudian Kak Nunu menghubungi saya bahwa satu dari dua tutor yang diterima tersebut mengundurkan diri dan saya diminta untuk datang keesokan harinya wawancara dan microteaching kalau masih berminat di Alekawa. Waktu itu saya merasa bahagia dan juga gugup. Tapi kesempatan itu datang untuk orang-orang yang siap, kan? Dalam waktu kurang dari 24 jam saya mempersiapkan diri untuk microteaching dan wawancara. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Beberapa hari kemudian saya dikabari bahwa saya diterima di Alekawa. Posisinya waktu itu saya masih bekerja jadi TA di SGS. Saya menyampaikan dengan jujur kepada Kak Nunu bahwa saya ingin menyelesaikan dulu di SGS sampai bulan Juni, dan saya menyampaikan ke kepala sekolah SGS bahwa saya diterima di tempat kerja yang lain yang artinya mungkin ada beberapa jam dalam sehari saya harus izin keluar karena harus mengikuti pelatihan sebelum resmi masuk mengajar.

Pertengahan Juni diadakan graduation sekaligus perpisahan di SGS. Perpisahan antara kepala sekolah yang waktu itu juga memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak dan juga kami para asisten. Setelah perpisahan di SGS artinya saya sudah resmi masuk penuh waktu di Alekawa sebagai tutor. Sebuah momen yang membuat saya semakin meyakini takdir Allah itu adalah takdir terbaik untuk setiap makhluk-Nya. Sampai saya menulis ini pun saya masih berstatus sebagai tutor di Alekawa. Sebuah perjalanan hidup yang membuat saya banyak sekali belajar. Di Alekawa saya tidak hanya mengajar orang dewasa, tapi juga remaja, dan anak-anak. Pekerjaannya freelance tapi kadang kami mendapat dua hingga tiga kelas per hari, jadi meskipun di kantor dari pagi sampai sore pasti selalu ada jeda istirahat dan leha-leha. Sebuah pekerjaan yang menerapkan work life balance. Kantor yang terasa seperti rumah, orang-orang yang terasa seperti keluarga. Selain belajar banyak tentang bahasa Indonesia saya juga belajar banyak tentang keragaman dan cross culture. Jadi saat ini, saat tulisan ini saya tulis saya bekerja di tiga tempat, di Panrita, Alekawa, dan di Speaktive.

Pertengahan bulan Juli saya dan Mama ke Surabaya menggunakan kapal. Di Surabaya saya dan mama berpisah. Mama ke Kalimantan, saya ke Jakarta menggunakan kereta dan lanjut ke Banten untuk mengikuti Bakti Negeri Sinesia 3. Perjalanan kali ini saya tidak sekalian liburan jauh-jauh, hanya pergi untuk mengikuti kegiatan Sinesia, singgah foto-foto di Kota Tua, mampir ke Perpusnas dan setelah itu langsung balik menggunakan pesawat ke Makassar dari Jakarta. Alasan tidak melanjutkan liburan karena feeling bad kalau harus izin lama di kantor dan merasa sudah tidak ada kemauan yang besar lagi untuk liburan, I’m enough 😊

Akhir Juli saya, Winda, Laura dan Ms Sita ikut trip ke Pulau Panambungan. Salah satu pulau yang cukup indah di Makassar. Perjalanan waktu itu cukup cerah jadi kami bisa menikmati keindahan air laut yang jernih. Kami merasakan sensasi tidur di tenda dan saya merasakan kenikmatan ikut trip yang hampir semua hal diurusi jadi tinggal terima beres hehe.

Oh iya, mulai Juli hingga November, Panrita mencoba melebarkan sayap dengan datang ke sekolah-sekolah mempromosikan tentang sekolah kedinasan, yang alhamdulillah menjaring siswa untuk belajar persiapan sekolah kedinasan.

Akhir bulan Desember setelah beberapa tahun akhirnya ikut diksar Maestro, diksar kali ini lebih mudah karena kami (beberapa senior) menyusul jadi tidak perlu jalan jauh, hanya jalan kurang dari sejam sudah tiba di lokasi camp terakhir anak-anak. Sebuah momen yang indah bisa berkumpul dengan anak-anak di Maestro, mendengar suara air mengalir, menikmati dinginnya cuaca, dan mendengar kicauan burung.

Tahun ini alhamdulillah bisa tetap melanjutkan kegiatan bagi nasi, menginisiasi Speakup Celebes bersama dengan Kak Udpa, Kak Nunu dan Kak Yayat, membangun kebiasaan membaca dengan membuka grup diskusi “Reading and Writing Challenge”, dan mempertahankan kebiasaan menulis catatan syukur setiap malam ditambah dengan membuat google form untuk update kehidupan sehari-hari dan apa yang dipelajari. Tahun ini juga hp rusak total yang memaksa harus mengganti hp hahaha.

Alhamdulillah untuk semua nikmat yang Allah berikat, ups and downs kehidupan, dan pelajaran yang saya dapatkan sepanjang tahun 2022. Good bye 2022 and welcome 2023. Semoga 2023 be better 😊

Home, 31 Desember 2022

 

WIsuda

Bagi sebagian orang, wisuda mungkin hanya sebuah euforia sehari, saya pun dulu berpikir seperti itu. Apalagi saat melihat orang-orang banyak yang mencak-mencak saat wisuda luring tahun 2020 pada musim covid tiba-tiba dihilangkan. Saya belum mengerti waktu itu kenapa orang-orang bisa merasa sangat kecewa di saat tidak bisa mengikuti prosesi wisuda yang hanya euforia sesaat. Saya dengan ego seseorang yang sok dewasa berpikir bahwa wisuda hanyalah ritual, yang jauh lebih penting dipikirkan adalah kehidupan setelah wisuda, mencari kerja dan lain lain. Tapi beberapa hari yang lalu saat saya mengikuti wisuda adik, saya akhirnya mengerti, bagi sebagian besar orang wisuda bukan hanya sebuah prosesi sehari, bukan hanya sebuah euforia, tapi wisuda sarat akan makna. Makna perjuangan, air mata, peluh keringat, dan juga rapalan doa.

Saat kami baru memasuki gerbang universitas si adik, saya melihat begitu banyak keluarga yang menunggu para wisudawan keluar dari auditorium. Mereka datang dengan rombongan keluarga, bahkan mungkin ada yang datang sejak pagi. Kami waktu itu datang menjelang duhur. Tak sedikit pula dari mereka mengenakan baju seragam bahkan ada yang membawa bekal seperti orang piknik. Hal ini membuktikan bahwa euforia wisuda bukan hanya milik wisudawan/wisudawati, tapi juga kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga. Saat para wisudawan/wisudawati keluar dari auditorium dan datang menemui keluarga mereka, nampak jelas raut muka orang tua yang penuh haru sekaligus mata yang berkaca-kaca, menyiratkan sebuah kebanggaan atas kerja kerasnya selama ini menyekolahkan anak-anaknya.

Bagi kebanyakan orang tua di Indonesia, salah satu kesuksesan terbesar adalah saat mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Kalimat yang cukup familiar saya dengar dari orang-orang tua yakni “Tidak apa-apa kita bodoh yang jelas anak kita jangan. Kalau kita hanya mampu sekolah sampai SMA semoga anak kita bisa kuliah. Semoga anak-anak kita nanti bisa lebih sukses dan mendapat pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya”. Kalimat-kalimat ini sangat familiar saya dengar, kalimat yang menjadi sebuah bukti bahwa orang tua akan melakukan berbagai cara agar anak-anaknya bisa mendapat kehidupan yang lebih baik daripada mereka.

Saat adik saya keluar dari ruang auditorium, dia langsung menghampiri mama dan etta (a.k.a bapak, saya memanggil bapak dengan sebutan etta), salim dan berpelukan dengan mereka. Saya tak sanggup melihat mata etta yang tiba-tiba berkaca-kaca. Akhirnya anak bungsunya wisuda juga. Ini menjadi salah satu tanda kesuksesan juga baginya. Bisa mengantarkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Etta yang tidak lulus SD, etta yang sejak kecil sudah ikut bekerja serabutan dengan orang dan hingga kini berprofesi sebagai pandai besi bisa menyekolahkan anak-anaknya. Etta seorang anak sulung yang miskin sejak kecil harus banting tulang untuk mencari uang demi kebutuhan sehari-hari. Hal ini menjadi sebuah tanda keberhasilan baginya saat bisa melihat anak-anaknya di wisuda.

Miskin erat hubungannya dengan ketidak percayaan diri, hal ini pun yang dirasakan oleh etta. Etta yang lahir dari keluarga miskin tidak pernah memiliki kepercayaan diri untuk gabung dengan keluarganya yang kaya, beliau selalu minder karena tidak memiliki pendidikan sebaik keluarganya yang lain, tidak memiliki harta benda sebanyak yang dimiliki oleh keluarganya. Tapi berkat kerja kerasnya menyekolahkan anak-anaknya, kini dia sudah mulai percaya diri karena telah cukup “berhasil” bekerja keras untuk mengubah nasib anak-anaknya menjadi lebih baik.

Saat di perjalanan pulang etta nyeletuk “tugas saya sudah selesai menyekolahkan kalian semua, sekarang terserah kalian mau memilih jalan seperti apa”. Kalimat yang bermakna sangat dalam bagi saya. Terima kasih etta dan mama, semoga Allah senantiasa melindungi kalian, memberikan umur yang panjang, kesehatan, dan ketenangan jiwa raga.

Jadi ya, wisuda bukan hanya sebuah ritual yang menandakan masa studi sudah selesai tapi juga menjadi sebuah kebanggaan bagi orang tua, apalagi bagi keluarga-keluarga menengah ke bawah yang harus berjuang sangat keras agar bisa melihat anak-anaknya mengenakan toga, mereka yang bekerja tak kenal lelah demi untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya hingga anak-anak mereka berhasil lulus dan menjadi sarjana.


 

Rabu, 28 Desember 2022

Labuan Bajo 4D 3N


Pra keberangkatan ke Labuan Bajo – Cerita lanjutan Lombok

Subuh-subuh kami bangun untuk siap-siap remidi ke bukit merese. Untung banget remidinya dapat doorprize, lewat jalur cepat bypass Mandalika yang tembus langsung di depan jalur masuk merese, cuaca pun cerah. Jadi kami bisa foto-foto dengan view pemandangan yang lumayan apik. Sekitar hampir 1 jam lebih kami di bukit Merese lalu turun dan lanjut perjalanan ke homestaynya Lisa. Lokasinya di dekat Pantai Kuta. Kami dijamu dengan sangat baik. Senang banget melakukan perjalanan, ada-ada aja orang baik yang dipertemukan oleh Allah. Setelah dari Lisa kami kembali ke jalan bypass untuk balik ke penginapan. Sebelum sampai di penginapan kami mampir ke terminal dulu untuk tanya-tanya tiket bus untuk menuju ke Labuan Bajo. Aslii ya orang orang di terminal pada serem, marah gak jelas padahal kami cuman tanya2 harga berdasarkan patokan traveloka. Dikiranya kami mengira mereka mau nipu kami soal harga, gak lama di terminal kami langsung balik ke penginapan dan mencari alternatif bus yang lain karena kami tidak menemukan PO rasa sayang. Seketika saya gercep mencari alternatif PO yang lain. Ada beberapa yang ketemu di internet ada yg minta kontaknya dari mas penjaga penginapan. Alhamdulillah dapat bus yang tergolong murah sampe di Labuan Bajo. Dari awalnya 350.000 didiskon jadi 320.000/orang. Sebelum ke terminal kami gofood ayam taliwang dulu dan makan di penginapan. Mas mas penginapannya baik banget memberikan kami kelonggaran waktu untuk checkout hingga pukul 14.30. Setengah 3 kami berangkat menuju ke terminal dan tiba di terminal pas jam 3 dan pas busnya mau berangkat.

Tiket Bus
Penampakan bus

Perjalanan menuju Labuan Bajo

Kami menggunakan bus Surya Kencana menuju ke Sape. Perjalanan dimulai pukul 15.30 menuju ke Bima. Perjalanan yang cukup menegangkan. Busnya lentur banget melaju dan ketika dapat tikungan langsung auto miring busnya. Menit menit awal lumayan tegang dan banyak banyak berdoa, tapi pas ngeliat penumpang lain yang slow kami juga ikutan slow karena memang busnya lajunya seperti itu.


Tiba di pelabuhan kayangan (tempat penyeberangan dari Lombok ke Pelabuhan Poto Tano) Sumbawa Barat. Penyeberangan selama 2 jam. Kami tiba di Pelabuhan Poto Tano sekitar jam 8 dan melanjutkan perjalanan menuju terminal Bima. Perjalanan ditempuh sekitar 8 jam dari pelabuhan Poto Tano hingga di Pelabuhan Bima pukul 04.00 subuh. Jam 5 subuh kami melanjutkan perjalanan lagi menuju ke Sape menggunakan bis yang lebih kecil tiba di Pelabuhan Sape pukul 07.00 langsung diantar ke tempat swab sebagai syarat untuk menyeberang. Biaya swab 110.000.

Bis Terminal Bima - Pelabuhan Sape
Hasil rapid di Pelabuhan Sape

Pelabuhan Sape.

Kami tiba di Sape pukul 07.00 dan menunggu informasi kejelasan kapal berangkat. Sudah seminggu kapal ASDP tidak beroperasi karena faktor cuaca. Alhamdulillahnya di hari itu kapal berangkat, jadi kami langsung antigen. Jam 7 lewat beberapa menit loket tiket sudah dibuka. FYI transaksi tiket harus menggunakan brizzi, jadi kalo gak punya brizzi bisa beli kartu brizzi dan langsung isi di ruangan dekat loket. Harga tiketnya 83.000 per orang jika tidak membawa kendaraan, nanti bapak petugas loketnya akan menanyakan mau ruangan bisnis gak, nanti bayar 105.000.

Kami tidak mengambil kelas bisnis dan keputusan ini yang akhirnya kami sesali. Sambil menunggu jadwal keberangkatan kapal kami bersih-bersih dulu di toilet pelabuhan. Sekitar jam 09.00 kami berjalan menuju ke kapal. Sebelum naik kapal kami mampir beli makanan dan minuman dulu di warung dekat kapal. Harganya 15.000 udah nasi dan banyak lauknya. Lalu kami naik ke kapal dan mencari kasur yang kosong, diarahkan oleh awak kapalnya. Barang-barang disimpan di samping toilet kapal dan kami mengambil tempat tidur. Tempat tidurnya itu lembab dan sedikit bau. Tapi kami tetap memilih kasur ketimbang kursi biar bisa meluruskan badan. Perjalanan Sape - Labuan ditempuh dalam waktu 7 jam. Kami makan lalu tidur dan ternyata belum sampai. Tak lama kemudian datang salah satu awak kapal menagih bayaran untuk kasur yang kami tempati, entah kasurnya memang harus bayar atau itu cuman akal-akalan si awak kapal aja. Biasa sewa kasur 15.000.

Tarif kapal
Detail harga (sudah include di pembayaran bis dari Mataram)
Kapal ASDP Sape-Labuan Bajo
Pelabuhan Sape
Pelabuhan Sape
Trotoar pejalan kaki menuju kapal
Penampakan tempat tidur di kapal

Labuan Bajo

2 jam sebelum kapalnya sandar kami sudah bangun, saya mandi lalu sholat. Toilet kapal ASDP cukup bersih, ada musholanya juga dengan ruangan ber AC. Setelah lalaa lala kami ke dek kapal hingga kapalnya sandar di Labuan Bajo. Belum tiba di Labuan Bajo aja kami sudah menyadari betapa indahnya Labuan Bajo. Dikitari gugusan pulau yang sangat indah. Dan setibanya di pelabuhan labuan bajo tampak begitu banyak kapal, baik yang open deck maupun kapal-kapal phinisi. 

Labuan Bajo dilihat dari atas kapal
Proses kendaraan keluar dari kapal

Kami tiba sekitar pukul setengah 5 dan baru tiba di daratan sekitar pukul 5 lewat. Kami tinggal sejenak di pelabuhan untuk menikmati sunset di pelabuhan. Kami bertemu dengan Bang Sem dan Kak Lini yang merupakan duo yang kami lihat saat di Pelabuhan Sape. Mereka minta difotoin oleh kami yang menjadi titik awal kita kenalan dan akrab. Kami ngobrol-ngobrol sejenak lalu nyambung ngobrol nginep di mana, kapan mau ngetrip dan naik apa. Bang Sem dan Kak Lini ikut di penginapan kami dan booking tiket trip sama dengan trip yang kami booking. Kami ngobrol-ngobrol bahwa kami satu kapal tapi tidak ketemu, ternyata mereka di ruang vip. Ternyata mereka hanya bayar 105.000 untuk bisa berada di ruang vip. Hanya beda 5 ribu dengan yang kami bayar dan mereka sudah bisa menikmati suasana ruangan yang nyaman dan ber AC. Kami berempat keluar menuju ke penginapan menggunakan ojek.

Foto dulu di pelabuhan hihih
Loket pembelian tiket di pelabuhan

Tarif ojek 5 ribu kalo siang, 10 ribu kalo malam. Ternyata penginapan kami jaraknya tidak begitu jauh dari pelabuhan, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tapi karena kami tidak tahu alamat persisnya jadi kami naik ojek. Pemandangan depan pelabuhan sungguh sangat menakjubkan, sunset pas di depan penginapan, penginapan kami berada di dekat jembatan dengan nuansa Amerika Latin. Receptionist dan seluruh staf sangat ramah. Kami menginap di La Boheme. Penginapan yang lokasinya tidak terlalu jauh dari pelabuhan dengan berbagai pilihan kamar, depan penginapan sudah laut lepas. 

Pemandangan dari depan penginapan
Pemandangan dari depan penginapan saat senja

Foto-foto suasana La Boheme

Saat tiba di penginapan, kami bersih-bersih lalu malamnya jalan-jalan ke jalan ujung, lokasi kuliner Labuan Bajo. Di sana ada banyak warung yang berjejer, menu utamanya sea food. Ada banyak jenis ikan yang baru kami lihat. Harga makanan dan minuman di warung-warung ini cukup pricey. Maklum karena tempat liburan. Dari penginapan ke tempat makan dan kembali ke penginapan lagi kami jalan kaki. Menyusuri jalan di Labuan Bajo.

Suasana di sekitar Pelabuhan Labuan Bajo
Hotel mevvah yang ada di Labuan Bajo
Pedestrian
Warung ujung dengan berbagai jenis ikan

Paginya, jam 6 kami siap-siap berangkat ke pelabuhan, untuk naik kapal menuju ke Pulau Padar – Pink Beach – Pulau Komodo. Kami sedikit terlambat tiba di pelabuhan, ternyata kapalnya on time berangkat. Saat kami tiba di kapal sudah ada beberapa orang yang merupakan anggota keluarga yang berasal dari Bali. Kapal yang kami gunakan menuju ke pulau-pulau tersebut yakni open deck. Ini merupakan kapal yang paling murah dibandingkan dengan kapal phinisi dan speed boat. Kami membayar Rp 550.000 untuk kapal terbuka dengan fasilitas WC (yang airnya diambil dari laut hihihi), coffee break, dan lunch + 200.000 untuk masuk ke kawasan Taman Nasional Komodo.

Air laut sedang surut
Perjalanan dari penginapan menuju ke kapal
Tiba di kapal (Sule - asisten nahkoda) sedang memberikan kata sambutan kepada para penumpang
Suasana kapal open deck
Coffee break
Kapal Phinisi

Pulau Padar

Pertama-tama kami menuju ke Pulau Padar. Perjalanan menuju Pulau Padar melalui ombak yang cukup kencang dan tinggi, tapi berhubung kapalnya terbuka jadi rasanya cukup menyenangkan dan menegangkan bisa melihat ombak yang tinggi secara langsung. Dan ada satu hal yang cukup menegangkan di tengah laut saat tiba-tiba kapalnya mati hahaha. Saat itu kami sudah mode pasrah karena meskipun tau berenang kalau harus nyemplung di tengah laut seperti itu juga akan kewalahan. Hahaha


Sule mencoba memperbaiki mesin kapal yang mati
Di tengah lautan

Syukurnya perjalanan menuju Pulau Padar bisa berjalan lancar setelah kapal diperbaiki. Saat kapal baru mendarat di dermaga tiba-tiba turun gerimis, untungnya tidak menjadi hujan deras. Kami menyusuri jalan menanjak hingga menuju ke spot foto yang bisa mengambil view tiga pulau. 

Tiba di Pulau padar
Berbagai jenis kapal sedang sandar

Perjalanan menggunakan tangga sebelum mendaki di bebatuan
Pulau Padar dari dekat

Ternyata perjuangan menuju ke spot foto lumayan ekstrem, untungnya sudah ada pegangan berupa tali di sisi kiri kanan jalan jadi cukup memudahkan untuk orang-orang yang mengalami kesulitan dalam menjaga keseimbangan. Beberapa orang memilih untuk berhenti di tengah jalan dan foto di tempat yang sekiranya apik untuk mengambil gambar, tidak melanjutkan perjalanan menuju puncak.

Pulau Padar

Perjalanan hari itu cukup ramai, ada banyak sekali rombongan, jadi untuk foto di tempat yang bagus tanpa “bocor” harus antri. Kami tidak bisa berlama-lama di puncak karena harus pindah ke tempat-tempat yang lain juga, dan kabarnya ombak jika sudah sore sangat ekstrem. Setelah puas foto-foto kami kembali menyusuri jalan turun. Di tengah jalan kami disapa oleh penjaga Pulau Padar, dihimbau untuk hati-hati, kami mengungkapkan kekaguman kami terhadap Pulau Padar yang begitu indah. Namun, di luar dugaan respon bapaknya kayak gini “Iya dek, di sini memang indah tapi seindah-indahnya tempat ini tak ada yang mau tinggal di sini”. Kami mengangguk mengisyaratkan persetujuan atas kata-kata bapaknya dan tersenyum lalu pamit untuk melanjutkan perjalanan turun.

Salah satu foto jalan menuju ke puncak
Orang-orang yang antri untuk foto

Pink Beach

Spot selanjutnya yakni Pink Beach. Perjalanan menuju ke Pink Beach ini saya melihat secara langsung angin puting beliung di air, cukup mengerikan juga melihat air bergulung-gulung pas di samping kapal hihihi. Tak lama kemudian kami tiba di Pink Beach. Pasirnya betul-betul berwarna pink. Warna ini dihasilkan dari buliran-buliran batu yang menyatu dengan pasir, saya tidak tahu untuk penjelasan pastinya kenapa bisa pasirnya berwarna pink. Hari itu cuaca di Pink Beach cukup panas jadi sangat nikmat menyeruput degan, dan saat bayar ternyata kenikmatan degan harus dibayar seharga Rp 40.000 hahaha. Cukup mahal. Oh ya, di Pink Beach ini kami diizinkan berenang, tapi saya memilih untuk tidak berenang karena malas jika harus basah-basahan atau ganti baju lagi sebelum pindah ke spot selanjutnya.

Sebenarnya masih ada dua spot lagi setelah Pink Beach. Yakni pulau komodo dan Pulau Kelor. Di Pulau Kelor ini direncanakan akan berenang, tapi karena kami cukup lama di setiap tempat jadi Pulau Kelor dihapuskan dan Pulau Komodo menjadi destinasi terakhir. Kata awak kapalnya kami harus tiba di Labuan Bajo sebelum malam karena ombak cukup tinggi dan esktrem kalau sore menjelang malam.

Pulau Komodo

Pulau Komodo. Di sini kita akan menyusuri dermaga yang cukup panjang lalu akan tiba di gerbang Pulau Komodo. Ada banyak penjual souvenir dan adik-adik yang akan menghampiri kita menjajakan jualannya. Setelah melewati gerbang Pulau Komodo nanti kita akan disambut oleh pemandu yang akan memberikan briefing ke semua peserta, saat briefing kita akan dijelaskan do and don’t yang ada di Pulau Komodo. Setelah itu kita akan diajak menyusuri hutan untuk mencari dan berfoto dengan komodo. Ternyata, saya baru tahu bahwa meskipun di Pulau Komodo itu merupakan habitat terbesar komodo, tapi komodo itu tidak berkumpul di satu tempat, kemungkinan kita hanya akan bertemu dengan beberapa komodo atau kalau sial kita tidak akan bertemu dengan komodo sama sekali. Syukurnya kami bisa bertemu dengan komodo setelah beberapa menit jalan. Pemandu langsung menginstruksikan untuk mengambil dokumentasi secara bergantian. Setelah semuanya sudah foto kami lanjut jalan lagi dan tidak menemukan komodo lagi, akhirnya pemandu mengajak kami untuk kembali ke dekat dermaga, saat perjalanan pulang kami melihat satu komodo lagi yang berjalan semakin menjauhi kerumunan manusia. 

Dermaga Pulau Komodo
Bg Sem, Kak Lini, dan Ani
Selamat datang di Pulau Komodo

At least sudah ada pengalaman bertemu dengan komodo dan melihat secara langsung Pulau Komodo. Setelah selesai di Pulau Komodo kami menyusuri lautan lagi untuk kembali ke Labuan Bajo. Perjalanan ditempuh sekitar dua jam dan menjelang maghrib kami sudah tiba kembali di Labuan Bajo.

Malamnya tidak ada rencana keluar penginapan karena cukup lelah, kami memilih makan makanan yang ada di penginapan dan ternyata makanannya sangat beragam, enak, dan terjangkau harganya. Sepanjang malam kami menghabiskan waktu makan, ngobrol, dan nonton layangan putus. Hahaha. Waktu itu masih hangat-hangatnya film layangan putus.

Keesokan harinya kami rental motor dengan niat ingin keliling Labuan Bajo, ingin cek bandaranya di mana, dan lokasi untuk swab di mana. Kami menyusuri daerah sekitar Labuan Bajo berdasarkan maps dan tidak ada banyak pilihan wisata yang dekat, lokasi tempat-tempat wisata yang lain cukup jauh dan ada juga yang harus menyeberang menggunakan kapal. Dengan berbagai pertimbangan setelah perjalanan kurang dari sejam kami memarkirkan motor di salah satu pantai yang spotnya cukup indah. Di Labuan Bajo sepanjang mata memandang hanya akan ada pantai dan hutan di sebelah kiri dan kanan jalan, kehidupan masyarakat pun cukup tenang dan seperti tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran orang-orang asing.

Foto-foto di dermaga
Ada kantornya BRIN

Setelah puas bermain dan foto-foto di pantai kami melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Cinta yang terkenal dengan sunset viewnya. Tapi sebelum itu kami (saya dan Ani) mampir ke salah satu klinik yang berada di dekat bandara untuk swab antigen dan janjian akan mengambil hasilnya setelah pulang dari Bukit Cinta. 

Penampakan klinik yang berada dekat bandara

Kami mencari Bukit Cinta berdasarkan informasi dari maps tapi tidak menemukan Bukit Cinta di titik yang dimaksud, akhirnya parkir di Bukit Sylvia, tempat banyak orang-orang yang sedang nongkrong. Namanya bukit yaa artinya kami harus mendaki menuju ke puncak untuk menikmati view. Waktu itu sudah menjelang maghrib, kami cukup kesorean tiba di lokasi karena terlalu lama di pantai sebelumnya dan mampir ke klinik juga. Jadi keindahan pemandangan yang kami dapatkan tidak begitu maksimal. Oh ya, saya tidak sampai ke puncak karena ada banyak sekali ulat yang menyerupai kaki seribu dan saya sangat parno dengan kaki seribu. Jadi Bang Sem, Kak Lini, dan Ani yang terus melanjutkan perjalanan menuju ke puncak dan saya berhenti di tengah jalan di tempat yang cukup landai. Di situ ada sekumpulan bapak-bapak yang sedang foto-foto, saya menawarkan diri untuk memfoto mereka dan nebeng untuk ikut turun.

Dalam perjalanan turun kumpulan bapak-bapak ini berjalan sedikit lambat jadi saya melaju cepat turun mendahului mereka. Sesampainya di bawah saya ngobrol dengan penjual durian yang dari tampilannya seperti orang Milanesian. Saya mengobrol dengan bapak penjual durian yang sangat ramah itu. Si bapak menawarkan duriannya dengan harga 55.000/biji, saya menawarnya dengan harga 45.000 sambil menunggu teman-teman yang dari puncak turun dan si bapak mengiyakan. Waktu itu masih ada 3 biji. Lalu saat kumpulan bapak-bapak ini tiba di bawah mereka langsung ingin membeli durian si bapak ini. Saat bapak-bapak ini makan durian saya mengobrol dengan beberapa pemuda penjual kain Labuan Bajo. Saling kenalan dan tanya-tanya asalnya dari mana. Satu dari empat pemuda yang ada di situ ternyata baru pulang dari Makassar jadi kami mengobrol cukup lama sampai kumpulan bapak-bapak ini selesai makan durian.

Nah saat bapak-bapak yang tadi selesai makan durian dan pergi saya beralih mengobrol dengan bapak penjual durian, si bapak penjual durian ini ternyata hanya menjual 2 durian dan menyimpan satu untuk saya. Saat bapak-bapak ini pergi si bapak penjual durian cerita kalau bapak-bapak yang tadi ingin membeli semua durian yang ada tapi si bapak tidak menjual semuanya karena mau menyimpankan satu untuk saya. Huhuhu melting. Kenapa tidak dijual semua saja pak, mereka membelinya dengan harga normal sedangkan tadi saya menawar hehe, kataku. Kemudian kata si bapak “Tidak nona, saya merasa sudah janji jadi saya menyimpankan satu untuk nona”. Lalu kami bercerita panjang lebar, saya mendapatkan informasi kalau si bapak ini ngekos di dekat penginapan kami, rumahnya di Flores, dan beliau mengambil durian dari tempat yang jaraknya 3 jam dari Labuan Bajo :’). Dalam hati langsung merasa bersalah sudah menawar.

Saat Bang Sem, Kak Lini, dan Ani sudah turun saya hendak membayar durian dengan harga normal bukan harga tawar, tapi si bapak menolak dan hanya ingin mengambil uang saya dengan harga yang sudah saya tawar :’). Hari semakin gelap dan kami semua bersiap untuk pulang, begitu pun dengan bapak penjual durian. Bapak penjual durian mengajak kami beriringan pulang karena searah. Saat motor saya dan Ani menyala, kami baru menyadari selain rem yang bermasalah ternyata lampunya pun tidak menyala hikz, mana perjalanan dari bukit ke penginapan gelap banget lagi. Tanpa diminta, tiba-tiba bapak penjual durian yang tau lampu kami tidak menyala. langsung memberikan isyarat bahwa dia akan membantu penerangan dari motornya sehingga kami bisa melihat dengan jelas. Ya ampuun baik sekalii. Ini salah satu alasan saya selalu senang melakukan perjalanan karena di perjalanan Allah selalu mempertemukan dengan orang-orang baik.

Pemandangan dari Bukit Sylvia tanpa sunset

Kami (Saya, Ani, Bang Sem, Kak Lini, dan Bapak Penjual Durian) jalan beriringan. Sampai tiba di pertigaan jalan. Kedua jalan tersebut sebenarnya sama-sama mengarahkan ke penginapan, kanan lebih dekat, kiri lebih jauh. Tapi saya dan Ani memilih jalan ke kiri karena harus mampir ke klinik mengambil hasil tes swab. Dan bapak penjual durian pun ikut mengiringi kami dan memastikan kami baik-baik saja, huhu melting. Saat sudah tiba di dekat bandara kami menghentikan motor dan menyampaikan ke bapak penjual durian kalau kami akan ke beberapa tempat termasuk ke bandara dan tempat penjual oleh-oleh, jadi Bapak penjual durian akhirnya melanjutkan perjalanan setelah memastikan bahwa kami akan baik-baik saja dalam perjalanan pulang karena sudah daerah kota dan lampu jalan sudah ada sampai ke penginapan. Kami mengucapkan terima kasih lalu kami berpisah. Kami mampir sebentar ke bandara untuk foto-foto, lalu ke tempat oleh-oleh di depan bandara, dan terakhir ke klinik untuk mengambil hasil swab dan kembali ke penginapan.

Pusat oleh-oleh depan bandara
Makan malam lagi di La Boheme

Pagi-pagi sekali saya sudah gradak gruduk meminta Ani untuk siap-siap lebih cepat karena pesawat kami jam 10 pagi, jadi jam 8 kami sudah harus ke bandara. Kami pamitan ke Kak Lini dan Bang Sem yang masih extend sehari lagi dan pamitan ke Bang Arya selaku receptionist La Boheme dan kami dipesankan mobil oleh Bang Arya menuju ke bandara. Perjalanan kurang lebih hanya 7 menit dan semua proses lancar. Kami menunggu di bandara cukup lama dan di titik ini Ani ngomel kepada saya karena membuatnya terburu-buru yang pada akhirnya membuat kami menunggu cukup lama di bandara hahaha, itu pun pesawatnya delay sekitar setengah jam lebih hahaha. Perjalanan yang cukup berkesan dan menyenangkan selama di Labuan Bajo. Menjelang jam 11 pesawat membawa kami menuju ke Surabaya lalu kami melanjutkan perjalanan menuju ke Jogja.

Bandara Komodo

Informasi tambahan:

Di Labuan Bajo ada banyaaak sekali jenis penginapan, mulai dari penginapan yang biasa hingga hotel bintang lama, bahkan ada starbucks juga di sana. Untuk rental motor juga banyak jadi kalau teman-teman ingin mengelilingi Labuan Bajo bisa dengan rental motor. Harga makanan di sini cukup pricey dan pilihan destinasi wisata yang dekat-dekat hanya wisata air.

Rincian

Biaya

Bus Terminal Mandalika – Labuan Bajo

320.000

Tempat tidur di kapal

15.000

Swab antigen di Pelabuhan Sape

110.000

Ojek pelabuhan – penginapan

10.000

Penginapan La Boheme 4D3N  (setelah share cost)

362.500

Makan selama di Labuan Bajo – (sudah termasuk degan, cemilan, dan beli air dan di luar free meal dari penginapan dan paket one day trip)

302.750

One-day trip

550.000

Tiket masuk taman nasional

200.000

Sewa motor 1 hari + bensin (setelah share cost)

55.000

Antigen di Labuan Bajo

80.000

Tiket pesawat LBJ – Surabaya

887.000

Beli oleh-oleh

138.000

Lain – lain

25.000

Total

3.055.250

Harga di atas dihitung dari perjalanan darat Mataram ke Labuan Bajo + antigen dua kali (musim covid), dan perjalanan udara Labuan Bajo ke Surabaya.

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...