Rabu, 18 November 2020

Self-Healing

Namanya juga manusia akan selalu dipastikan emosinya akan naik turun, sekaya apapun dia, sealim apapun dia, bahkan semampu apapun dia memenuhi segala kebutuhannya yang namanya emosi pasti akan selalu naik turun. Seperti layaknya semangat dan iman yang selalu naik turun, emosi pun demikian.

Saya mencari dan menemukan salah satu self-healing terbaik versi saya adalah berbagi. Saat berbagi akan selalu ada suntikan semangat yang ditularkan oleh orang-orang yang saya temui, dari mereka saya belajar arti perjuangan dan bersyukur. Beberapa minggu terakhir saya inisiatif mengajak beberapa orang untuk membuat sebuah gerakan kecil-kecilan yang tanpa nama dan tanpa membawa bendera apapun, gerakan kecil untuk berbagi makanan bagi orang-orang yang berjuang mencari nafkah di jalanan.

Selalu ada suntikan rasa syukur dan semangat melihat begitu banyaknya dukungan yang datang, baik berupa dukungan semangat, doa, terlebih lagi dukungan dalam bentuk dana. Gerakan seperti ini sudah pernah saya lakukan sebelumnya secara mandiri dan tanpa membuka donasi, tapi dampaknya juga kecil karena penghasilan saya yang belum seberapa jadi hanya mampu untuk berbagi ala kadarnya. Belakangan saya mencoba untuk membuka donasi, ternyata begitu banyak orang baik yang turut andil urunan untuk berbagi makanan bagi mereka yang “membutuhkan”. Banyak orang-orang baik yang membutuhkan wadah untuk menyalurkan niat-niat baik mereka menjadi aksi baik.

Cerita di jalanan sangat beragam. Umumnya kami menemui pemulung yang benar-benar menggantungkan hidupnya di jalanan. Di gerobak mereka selain berisi hasil dari memulung tak jarang pula berisi anak mereka yang lagi terlelap. Satu dua hingga beberapa kali saat kami membagikan makanan anak-anak mereka akan menerimanya dengan begitu girang, sama seperti ekspresi anak-anak kecil kebanyakan yang hanya tau senang ketika mendapat sesuatu yang membahagiakan dan menangis saat mereka “terluka”. Mereka berjuang dalam kerasnya kehidupan jalanan, membelah kemacetan kota, menerjang dinginnya malam, dan terus bergerak demi untuk memastikan ada sesuap nasi yang bisa mereka nikmati setiap harinya untuk menyambung hidup.

Pernah pula kami menemui pemulung yang tidak membawa gerobak, melainkan memikul karung yang berisi hasil dari memulung. Berjalan dengan kaki telanjang di tengah dinginnya malam. Mereka menggunakan masker dari pasangan calon walkot yang berbeda, peduli apa mereka dengan paslon walkot tersebut? Yang mereka perjuangkan adalah menjemput rejeki untuk tetap bisa menyambung hidup. Saat kami berikan masing-masing satu kotak makanan tak hentinya doa-doa baik mereka rapalkan, lalu kemudian berselang beberapa detik mereka melipir mencari tempat lapang untuk menyantap makanan yang diterimanya.

Tak jarang pula kami melihat mereka yang duduk di trotoar jalan dengan tatapan nanar, beristirahat setelah berjalanan seharian mencari sesuatu yang dianggap sampah oleh orang lain menjadi sesuatu yang bisa bernilai jual bagi mereka. Ada pula yang sedang duduk sambil makan sepotong kue, mengambil sedikit demi sedikit kue yang ada di genggaman mereka. Memasukkannya ke dalam mulut demi untuk mengganjal perut mereka yang kelaparan.

Salah satu hal yang mengiris-ngiris hati ketika melihat anak usia batita yang masih ngedot harus tidur di pangkuan ibunya di trotoar jalan tepat di samping gerobak. Sebagai seorang wanita dan seorang tante yang memiliki keponakan yang masih bayi, saya bisa merasakan “pedihnya” hati ibunya yang harus membawa serta anaknya untuk berjuang di jalanan. Ibu mana sih yang ingin melihat anaknya menderita? Tapi nyatanya banyak orang yang tidak mempunyai pilihan, garis kemiskinan  itu sistemik dan susah keluar dari lingkaran setan itu. Mereka juga berjuang keras untuk menjemput rejeki, namun nyatanya perjuangan keras mereka hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan makan untuk menyambung hidup saja. Pada akhirnya kerasnya kehidupan membuat mereka harus menyesuaikan diri untuk hidup dan tidur di mana saja.

Pernah sekali dua kali seseorang bertanya, apa yang kamu inginkan dari semua yang kamu lakukan ini? Tak panjang jawaban yang bisa kujawab, saya hanya mencari kelapangan dan kecukupan. Rasa cukup, rasa lapang, dan rasa tenang. Hal yang selalu saya dapatkan setiap kali berbagi dengan orang lain. Saya pun percaya segala hal baik yang terjadi dalam hidup saya dan keluarga tak terlepas dari banyaknya doa-doa baik yang melangit. Allah menyelipkan rasa lapang, rasa syukur, dan rasa tenang untuk saya dan keluarga di setiap waktu. Rasa yang tidak bisa dibeli dengan nominal berapapun. Begitupun dengan bala yang dihindarkan, itu karena banyaknya doa-doa baik yang melangit untuk saya. Thanks God.

Saya selalu percaya bahwa siapapun yang memudahkan urusan orang lain Allah pun akan memudahkan urusannya. Hal tersebut bekerja luar biasa dalam hidup saya. Setiap kali saya “tersandung” saya selalu mengambil jeda waktu untuk berfikir dan refleksi, apa yang salah? Barangkali ada rejeki orang yang tertahan di saya, barangkali ada satu dua kata dan perbuatan yang tak sengaja melukai orang lain, atau barangkali hubungan saya dengan Tuhan sedang tidak baik-baik saja. Sebuah momen refleksi yang membuat saya selalu belajar setiap waktu.

Dalam kondisi yang tidak selalu baik, hal yang bisa diusahakan selalu baik adalah pola pikir, pola tutur, dan pola tindakan kita. Bersama-sama berjuang untuk melakukan dan mendapatkan yang terbaik.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...