Setelah
menuliskan kisah perjalanan 2D2N di banyuwangi, saya dan teman-teman
melanjutkan perjalanan menuju ke Bali dan Lombok, rencana awalnya seperti itu.
2 hari di Bali, lanjut 2 hari di Lombok dan ke Gili Trawangan. Namun, dalam
perjalanan setelah menpertimbangkan faktor kepuasan dan kelelahan kami
memutuskan untuk menghabiskan waktu di Bali. Perjalanan dimulai dari
Banyuwangi, kami menumpangi bus dari terminal Sritanjung. Tariff bus dari
Banyuwangi ke Terminal Mengwi yakni 90.000 dan katanya bus terakhir adanya
pukul 13.00, saat itu kami berangkat sekitar pukul 12.30 dari penginapan dan
tiba di terminal sekitar pukul 13.00 kurang 10 menit. Awalnya kami ingin
memesan bakso, baru aja babang baksonya mencampur rempah rempah ke mangkok
tiba-tiba busnya datang, kami pun meminta maaf karena tidak jadi membeli dan
langsung naik ke bus. Bus berhenti di terminal kurang dari 5 menit, hanya
sekedar menurunkan dan menaikkan penumpang. Bus melaju menuju Pelabuhan Ketapang.
Oh iya, ini adalah kali kedua saya ke Bali menggunakan jalur darat. Kali pertama
datang langsung ke pelabuhan, membeli tiket seharga 6.500 untuk kapal fery yang
akan membawa kita menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk, kebetulan pertama
kali waktu itu dijemput sama orang tua salah seorang teman jadi tidak perlu
pusing memikirkan alat transportasi menuju tempat tujuan. Nah, kali kedua ini
karena perginya tanpa tujuan rumah teman atau saudara dan ingin langsung ke
penginapan jadi kami memilih untuk naik bus dari Banyuwangi langsung ke Bali. Saran
bagi teman-teman yang ingin ke Bali menggunakan jalur darat ada baiknya naik
bus dari Banyuwangi langsung ke Bali agar tidak perlu lagi pusing untuk mencari
transportasi setibanya di Pelabuhan Gilimanuk, meskipun sebenarnya di Gilimanuk
terdapat banyak transportasi. Bus bisa ditemui pas di depan gang stasiun atau
bisa langsung menuju jalan masuk pelabuhan. Sedikit gambaran bagi teman-teman
yang belum pernah jalur darat ke Bali, jarak dari stasiun cukup dekat ke
pelabuhan cukup dekat, cuman butuh waktu sekitar 5-10 jalan kaki. Keuntungan naik
bus dari Banyuwangi diantaranya, tidak perlu lagi berjalan kaki dari gerbang
pelabuhan menuju ke kapal, tidak perlu lagi membeli tiket kapal, dan tidak
perlu lagi repot clingak clinguk cari kendaraan setibanya di Gilimanuk. Dengan menggunakan
bus, kita akan melenggang masuk di kapal dengan bus tersebut dan baru dibiarkan
turun ketika sudah sampai di kapal. Nah, kenapa harus keluar dari bus setibanya
di kapal? Agar tidak terpanggang kepanasan di bus, jadi kita bisa menikmati angina
laut di atas kapal. Perjalanan Banyuwagi-Bali cuman sejam kurang, di tengah
laut zona waktu akan otomatis berubah dari WIB menjadi WITA.
Sesaat
sebelum kapal sandar, kita sudah harus bersiap-siap untuk kembali ke bus. Setelah
bus keluar dari kapal kita akan melewati pos penjagaan dan pemeriksaan KTP,
saya menyebutnya razia KTP. Konon sih katanya razia KTP ini sudah ada sejak
peristiwa Bom Bali dimana hal ini dimaksudkan untuk mengecek orang-orang yang
akan masuk ke daerah Bali. Pada saat pemeriksaan KTP ini, kali kedua saya ke
Bali dan saya melakukan kebodohan yang sama. Tidak membawa E-KTP. Dulu yang
pertama kali tidak membawa E-KTP karena E-KTPnya saya simpan di tempat
penyewaan alat outdoor, kebetulan waktu itu berangkatnya bareng salah seorang
teman yang orang Bali asli jadinya aman aman aja. Kali kedua ini apes, saya
menyimpan E-KTP di Jogja karena takut kalau KTPnya dibawa-bawa nanti hilang,
hahaha. Hanya membawa SIM dan KTP biasa. Saya baru menyadari kalau saya telah
melakukan kesalahan ketika pemeriksaan KTP dan saya dipanggil masuk ke kantor. Dijelaskan
sama bapak-bapak petugasnya bahwa tidak diperkenankan masuk ke Bali jika tidak
menggunakan E-KTP. Terus gimana pak? KTP saya ketinggal di Jogja, kataku kepada
bapaknya. Gini, pilihannya kamu kembali ke Banyuwangi atau selesaikan di sini.
mendengar bapaknya ngomong seperti itu, saya jadi teringat ketika dahulu kala
pernah ditilang sama polisi karena waktu itu melanggar rambu lalu lintas,
kata-katanya persis sama. Antara sedih sama pengen ketawa mendengar penjelasan
si bapak. Selesaikan di sini saja pak, karena saya tidak mungkin balik ke Banyuwangi,
KTP saya di Jogja, kataku kepada bapaknya. Tapi pak, saya belum ambil uang di
ATM, berapa kiranya yang harus saya bayarkan? Tanyaku lagi. Seadanya aja yang
kamu pegang sekarang, kata bapaknya. Pak uang di kantong saya sekarang cuman 16
ribu, ya sudah. Untuk bapak 10 ribu untuk saya 6 ribu sebagai uang saku. Bapaknya
menerima dengan raut muka sedikit kesal dan saya pun pamit berlalu sambil
senyam senyum mengingat kebodohanku tidak membawa E-KTP dan kerelaan bapaknya
saya bayar 10 ribu. Hahahaha
Setelah
saya naik, bus kembali melanjutkan perjalanan menuju Terminal Mengwi,
sebelumnya saya sampaikan ke kernetnya untuk memberitahu kami ketika busnya
sudah akan masuk ke terminal agar kami tidak perlu masuk lagi ke terminal,
karena isunya Grabcar atau gocar tidak bisa menjemput di dalam terminal. Pas di
pertigaan jalan masuk ke terminal kami diturunkan oleh supir. Berhubung waktu
sudah sore dan kami belum sholat jadi kami mencari masjid terlebih dahulu
sebelum lanjut ke Ubud. Ternyata, tidak ada masjid yang bisa diakses dengan
jalan kaki. Jadinya kami kembali ke Kediri salah satu daerah di Kabupaten
Tabanan. Masjidnya lumayan besar dan terdapat banyak penjual makanan halal dengan
harga terjangkau di sekitar masjid.
Malam
harinya perjalanan di lanjutkan menuju ke Ubud. Ubud dengan ekspektasi sebuah
desa yang dikelilingi pantai dan hamparan sawah yang luas seperti yang sering
saya saksikan di film-film FTV. Dari masjid menuju Ubud kita bisa menggunakan
transportasi online, waktu itu kami mendapat harga 98.000 dari Masjid di Kediri
menuju ke Ubud. Dalam perjalanan saya berkali-kali mencoba mencari penginapan
tapi hampir semuanya full, ada satu yang tersisa. Saya memutuskan untuk memesan
2 kamar tapi tidak langsung membayarnya karena ingin melihat bentuk dari
penginapan tersebut terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membayar. Tak terasa,
sejam kemudian setelah melewati jalan yang panjang dan gelap kami memasuki
sebuah daerah yang glamour, penuh kerlap kerlip lampu, dan nampak begitu banyak
bule yang seliweran di kanan dan kiri jalan, tak lama kemudian mobil berhenti di
depan sebuah gang sebagai tanda tujuan kami sudah sampai. Semuanya diam,
terpaku dengan keramaian Kota Ubud. Sangat jauh dari ekspektasi bahwa Ubud
adalah sebuah desa yang asri, tenang, hijau, dan ekspektasi lainnya yang tidak
mampu lagi terkatakan. Ubud di malam hari itu tak beda jauh dengan kondisi
Kuta, sangat ramai dan penuh keglamouran. Saya mencoba mengingat lagi alasan ke
Ubud, tidak seperti yang saya dapatkan malam itu. Ekspektasiku buyar seketika. Kami
merasa tersesat di kota ditengah keramaian. Setelah semua turun dan
barang-barang diturunkan saya bersama seorang teman menuju penginapan yang
sebelumnya saya booking saat masih di mobil. Surprisingly semua kamar ternyata
sudah full dan aplikasi online tersebut sudah ditutup oleh pemilik penginapan. Kami
pindah dari satu penginapan ke penginapan yang lain untuk mencari kamar kosong
ternyata zonk. Semuanya full. Ternyata saat kami pergi di bulan agustus
tersebut itu adalah high season, jadi banyaak sekali bule yang datang ke Bali
untuk liburan. Kembali menemui 2 orang teman lagi yang disuruh menunggu di
depan gang dan mendiskusikan kita akan kemana setelah ini, kita tidak
mendapatkan penginapan. Sambil berjalan dan mencoba menikmati kerlap kerlip
keramaian Ubud saya berselancar mencari penginapan yang ada disekitar situ dan
bisa diakses dengan jalan kaki, ZONK. Penginapan yang tersedia dengan dua kamar
jaraknya sekitar 5KM dari Kota Ubud. Tidak ada pilihan lain, penginapan itu
yang menjadi tujuan kami. Selanjutnya yang kami fikirkan adalah bagaimana akses
menuju ke penginapan. Berkali-kali ngecek grab dan gojek tapi zonk, ternyata
ada larangan ojek online beroperasi daerah Ubud. Pilihannya hanya dua, jalan
kaki atau naik taksi lokal yang tarifnya 150.000. Dua pilihan yang sama-sama
berat. “Pak, bisa antarkan kami ke Penginapan ini (sambil menunjukkan alamat
penginapan yang kami maksud)”. Bisa, kata bapaknya. “Berapa pak?” Tanyaku.
150.000 kata bapaknya. Wuih mahal banget pak, bisa 50ribu gak pak? Tadi kami
cek di gojek cuman 38.000. Gak bisa, kata bapaknya. Lagian juga kalian tidak
bisa menggunakan ojek online di sini, lihat tuh ada tulisan ojek online
dilarang masuk. Dan memang benar, tulisan larangan ojek online itu ada
sepanjang mata memandang.
Kami
berlalu meninggalkan si bapak sambil berdiskusi dan mencari minum. Chatime
adalah tempat yang kami tuju, salah satu tempat yang harganya manusiawi dan
sudah tau rasanya seperti apa. Sambil menunggu chatime disajikan, kami
istirahat sejenak dan berfikir akan menggunakan apa menuju penginapan.
Satu-satunya opsi adalah menggunakan taksi lokal, menimbang bahwa malam juga
semakin larut. Alhamdulillahnya ketemu sama bapak supir taksi yang sudah mau
pulang, jadi kami menawar harga dari harga 150.000 menjadi 100.000, kebetulan
rumah si bapak searah dengan penginapan yang akan kami tempati menginap. Bapaknya
begitu ramah, sepanjang jalan bercerita, dan mengantar kami sampai pas di depan
penginapan yang meskipun sempat berkali-kali nyasar. Penginapan kami malam itu
namanya Reddoorz Sayan Ubud dengan harga dua kamar yakni 226.000. Penginapan ini
lumayan worth it, kamarnya luas dengan fasilitas lengkap dan memiliki kolam
renang yang kami gunakan bersantai esok paginya.
Kartu nama bapak yang di Ubud.
Esok
paginya, kami menemui receptionist. Niat hati ingin booking kamar untuk 2 malam
lagi, ternyata sampai 3 hari kedepan semua kamar sudah full booked oleh
rombongan dari salah satu perusahaan. Kembali kami pusing lagi mencari
penginapan. Alhamdulillah dapat di Airyrooms yang jaraknya 8 KM lebih,
gapapalah dari pada tidak ada sama sekali. Menjelang siang kami gotong gotong
barang pindah ke penginapan yang baru, syukurnya di penginapan sebelumnya
terdapat penyewaan motor jadi mobilitas kami menjadi mudah. Harga sewa motor di
Bali yakni 75.000, itu yang kami dapatkan. Gak tau kalo ada variasi harga yang
lain. Oh ya, saran jika jalan-jalan ke Bali wajib banget sewa kendaraan karena
kita tidak bisa mengandalkan transportasi umum yang entah ada atau tidak.
Penginapan yang pertama
Tiba
di penginapan kedua, kondisinya sangat jauh berbeda dari penginapan sebelumnya.
Kamarnya sempit, water heaternya tidak nyala, sepreinya seperti tidak penah
diganti dalam waktu yang lama dan terdapat banyak bangkai semut di dalam kamar
mandi, belum lagi di depan kamar terdapat kali besar yang dikelilingi pohon bamboo
menambah paket lengkap penginapan tersebut. Penginapannya berada di dalam gang,
sebuah hostel yang kerjasama dengan Airy rooms yang nampak dari kamar-kamar
yang ada semuanya kosong, hanya kami tamu yang ada di hotel tersebut. Bahkan bapaknya
juga sempat heran saat kami datang. Pokoknya begitulah kondisi penginapan yang
kedua. Harganya bahkan lebih mahal dari penginapan yang pertama, yakni 264.000
untuk dua kamar. Gapapalah ya dari pada gak ada sama sekali. Selesai ngobrol
dengan bapak pemilik penginapan dan setelah menyimpan barang kami bergegas
mencari masjid, kebetulan 2 dari teman kami itu hendak menunaikan sholat jumat
sekaligus kami mencari makan. Sekitar kurang dari 10 KM dari penginapan ada
masjid yang juga berada di dalam gang yang akan melaksanakan ibadah sholat
jumat, di depan gang masjid ada penjual nasi kuning sepasang suami istri yang
katanya dari Jakarta berjualan di Bali. Si ibu pakai jilbab dan pelanggannya
banyak, sepertinya pelanggannya juga kebanyakan orang-orang yang mencari
makanan halal.
Cowok-cowok
selesai sholat jumat dan kami selesai sholat duhur kami menuju ke destinasi
yang kami lihat di google, sebuah bukit yang namanya Campuhan Hills dan Tegalalang.
Berada tak jauh dari pusat Kota Ubud. Untuk sampai ke lokasi butuh waktu jalan
kaki sekita 15-30 menit. Sesampainya di lokasi temanku nyeletuk, ini mah padang
ilalang. Di belakang rumah juga banyak. Antara kesel, sedih, sama pengen ngakak
dengar komentarnya. Keselnya karena mukanya pada bete tidak sesuai ekspektasi,
pengen ngakak karena memang kenyataannya seperti itu. Bule-bule itu semangat
dan exited banget melihat pemandangan itu karena mungkin di tempatnya tidak ada
yang seperti itu. Kita mah karena dari kampung jadi itu adalah pemandangan yang
biasa kita saksikan. Well, dari semua komentar-komentar teman-teman itu saya
malah bersyukur dan takjub dengan pemandangan alam yang terhampar luas sejauh
mata memandang. Udaranya dingin dan tenang. Takjub kok bisa ya bisa setenang
dan sedamai itu, padahal kurang dari 1 KM di depan sana adalah kota Ubud yang
ramainya luar biasa, belum lagi kendaraan yang macetnya naudzubillah di
pertigaan dekat tempat parkir motor. Malamnya kami mencoba kembali
menapaktilasi Kota Ubud. Kota ini glamour dan indah ternyata. Restoran kiri
kanan, bule seliweran sana sini, penjual pernak pernik begitu ramai dan kami
adalah populasi 1% warga lokal diantara 99% turis yang ada di Kota Ubud.
Esok
harinya kami memulai perjalanan lagi. Perjalanan hari kedua jauh lebih menyenangakan
dan kami mengunjungi tempat-tempat yang indah. Salah satunya yakni Desa
Penglipuran, sebuah desa adat di Kabupaten Bangli dan dinobatkan sebagai desa
terbersih. Tiket masuk ke Penglipuran yakni Rp 15.000. desa ini sangat indah
dan bersih, janur kuning masih terpasang di depan rumah-rumah warga karena
memang baru beberapa saat hari Raya Galungan dan Kuningan selenggarakan. Saya terpesona
dengan Bali yang masih menjunjung tinggi tradisi, adat istiadat dan
melestarikan budaya. Kayaknya ini menjadi salah satu sebab kenapa Bali selalu
menjadi tempat tujuan wisata para turis. Adat istiadatnya masih dilestarikan
dan banyak wisata alam yang begitu indah. Oh iya, di Penglipuran ini semua
rumah warga terdapat jualan baik jualan makanan maupun jualan hasil kerajinan
tangan. Warganya begitu rumah, sempat saat kami membeli minuman di rumah salah
seorang warga kami melakukan obrolan dengan ibu-ibu pemilik warung tersebut.
Ibunya bercerita kalau dari dulu memang warga di Penglipuran sudah menjaga
kebersihan dan adat istiadat, setiap ada lomba mereka senantiasa ikut, dan
hasilnya beberapa tahun kemudian desa itu masuk menjadi salah satu desa
terbersih dan menjadi tujuan wisata yang paling diincar ketika ke Bali. Di sini
juga terdapat sebuah tempat semacam pendopo yang menjadi tempat para penari
tampil dan latihan menari bagi pengunjung yang ingin belajar menari.
Tempat
kedua yang kami kunjungi di hari kedua yakni Tirtagangga, lokasinya berada di
Kabupaten Karangasem. Tirtagangga merupakan terkenal dengan istana air yang
dikelilingi labirin kolam dan air mancur. Tempatnya memiliki ciri khas
keindahan yang berbeda dari Penglipuran. Tiket masuknya sebesar 25.000. Tak berbeda
jauh dari tempat-tempat wisata lain, Tirtagangga juga dipenuhi dengan bule. Sepertinya
semua tempat wisata yang ada di Bali didominasi dengan bule. Di Tirtagangga
kita bisa menikmati labirin kolam yang indah, bisa memberikan makanan ikan, dan
berfoto-foto.
Tempat
ketiga yang kami kunjungi adalah pantai yang kami lihat di sepanjang jalan kami
menuju Kuta. Pemandangan sore hari yang sangat indah. Inilah pemandangan yang
sering saya saksikan di FTV FTV. Dari Tirta Gangga menuju Kuta kami melewati
sepanjang garis pantai. Kami sengaja ke Kuta hanya untuk mencari makanan halal
yang terkenal, namanya Warung Muslim Ayam Betutu Bu Ferdi. Rasanya enak dan
harganya relative murah. Setelah itu kami balik lagi ke Ubud.
Keesokan
harinya, yakni hari ketiga dan merupakan hari terakhir kami di Bali. Kami mendatangi
tempat wisata Hidden Canyon. Tempat wisata yang sebenarnya 2 hari sebelumnya
sudah kami kunjungi tapi tidak jadi kami masuki karena harganya lumayan mahal,
yakni 100.000. Untungnya, saat kami ke sana lagi untuk kedua kalinya kami
datang pagi-pagi sekali dan merupakan pelanggan pertama jadi kami mendapat
diskon 25%, jadilah kami masuk dengan harga 75.000. Hidden canyon terletak di
Ubud, dekat dari Pasar Sukowati. Di Hidden canyon ini kita akan susur sungai
dengan tebing di kiri kanan dan bebatauan yang besar lagi banyak. Aktifitas yang
lumayan menyenangkan dan porter yang selalu siap sedia menunjukkan jalan yang
lurus bagi kami dan siap sedia senantia memotret kami setiap saat. Ini menjadi
salah satu destinasi wisata yang recommended ketika ke Ubud. Menjelang akhir
perjalanan Hidden Canyon nanti ada air terjun kecil yang kita diperbolehkan
untuk minum langsung dari sana tapi tidak diperkenankan minum bagi yang haid.
Di dekat air terjun kecil tersebut ada pendopo yang setia dibawakan sesajen. Waktu
itu sempat dijelaskan oleh bapak bapak yang membawa sesajen tersebut nama-nama
dewa, kenapa sesajen tersebut setiap hari harus diganti dan kenapa harus
menggunakan pakaian adat, cuman karena ingatan saya yang cetek saya sudah lupa
apa yang dijelaskan :/. Hihihi
At
the end of the story jalan-jalan ke Ubud adalah salah satu pilihan terbaik yang
pernah saya ambil, menikmati hijaunya Ubud dan sawah yang masih banyak
terhampar, keramahan masyarakat dan adat istiada yang begitu kaya. Meskipun awalnya
sempat menyangka kalau Ubud tidak sesuai ekspektasi, ternyata pengalaman indah
yang tak terduga banyak disajikan oleh kota ini. Oh ya, pengeluaran kami selama
4 hari 3 malam di Bali sekitar satu juta sudah termasuk Akomodasi PP dari
Banyuwangi, makan, penginapan, dan akomodasi selama di Bali.
Tibalah
kami di akhir perjalanan di Bali, kami bersiap-siap untuk balik ke penginapan,
siap-siap dan kembali ke terminal lalu menuju ke Banyuwangi. Oh iya, pada
akhirnya meskipun penginapannya kurang nyaman kami tetap bertahan 2 malam di
penginapan tersebut karena malas pindah-pindah. Untuk menuju ke terminal kami
membujuk bapak pemilik penginapan untuk mengantar kami ke Terminal Mengwi. Awalnya
bapaknya tidak mau karena jauh, tapi setelah dibujuk-bujuk akhirnya si bapak
berkenan mengantar kami ke terminal dengan bayaran 150.000. Kali ini kami masuk
di terminal mengwi dan mencari bus yang akan membawa kami menuju ke Banyuwangi.
Berhubung kami sudah punya rate harga sebelumnya yakni 90.000, jadi kami pun
mencari bus dengan harga yang sama menuju ke Banyuwangi. Alhamdulillah dapat. Sore
harinya kami berangkat dan tiba di Banyuwangi pada malam harinya. Karena tiket kereta
kami ke Jogja masih keesokan harinya akhirnya kami harus menginap lagi di
Banyuwangi. Kali ini kami mendapat penginapan darurat di lantai dua rumah
panggung seorang penjual nasi padang, harganya 100.000. bagi teman-teman cowok
yang menggunakan mode hemat boleh banget tidur di masjid yang berada di depan
pelabuhan pas. Di sana tersedia tempat menginap untuk cowok.
Sekian
perjalanan kami dari Banyuwangi-Bali-Banyuwangi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar