Minggu, 05 April 2020

Lika liku jalan-jalan ke Bali



Setelah menuliskan kisah perjalanan 2D2N di banyuwangi, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan menuju ke Bali dan Lombok, rencana awalnya seperti itu. 2 hari di Bali, lanjut 2 hari di Lombok dan ke Gili Trawangan. Namun, dalam perjalanan setelah menpertimbangkan faktor kepuasan dan kelelahan kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di Bali. Perjalanan dimulai dari Banyuwangi, kami menumpangi bus dari terminal Sritanjung. Tariff bus dari Banyuwangi ke Terminal Mengwi yakni 90.000 dan katanya bus terakhir adanya pukul 13.00, saat itu kami berangkat sekitar pukul 12.30 dari penginapan dan tiba di terminal sekitar pukul 13.00 kurang 10 menit. Awalnya kami ingin memesan bakso, baru aja babang baksonya mencampur rempah rempah ke mangkok tiba-tiba busnya datang, kami pun meminta maaf karena tidak jadi membeli dan langsung naik ke bus. Bus berhenti di terminal kurang dari 5 menit, hanya sekedar menurunkan dan menaikkan penumpang. Bus melaju menuju Pelabuhan Ketapang. Oh iya, ini adalah kali kedua saya ke Bali menggunakan jalur darat. Kali pertama datang langsung ke pelabuhan, membeli tiket seharga 6.500 untuk kapal fery yang akan membawa kita menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk, kebetulan pertama kali waktu itu dijemput sama orang tua salah seorang teman jadi tidak perlu pusing memikirkan alat transportasi menuju tempat tujuan. Nah, kali kedua ini karena perginya tanpa tujuan rumah teman atau saudara dan ingin langsung ke penginapan jadi kami memilih untuk naik bus dari Banyuwangi langsung ke Bali. Saran bagi teman-teman yang ingin ke Bali menggunakan jalur darat ada baiknya naik bus dari Banyuwangi langsung ke Bali agar tidak perlu lagi pusing untuk mencari transportasi setibanya di Pelabuhan Gilimanuk, meskipun sebenarnya di Gilimanuk terdapat banyak transportasi. Bus bisa ditemui pas di depan gang stasiun atau bisa langsung menuju jalan masuk pelabuhan. Sedikit gambaran bagi teman-teman yang belum pernah jalur darat ke Bali, jarak dari stasiun cukup dekat ke pelabuhan cukup dekat, cuman butuh waktu sekitar 5-10 jalan kaki. Keuntungan naik bus dari Banyuwangi diantaranya, tidak perlu lagi berjalan kaki dari gerbang pelabuhan menuju ke kapal, tidak perlu lagi membeli tiket kapal, dan tidak perlu lagi repot clingak clinguk cari kendaraan setibanya di Gilimanuk. Dengan menggunakan bus, kita akan melenggang masuk di kapal dengan bus tersebut dan baru dibiarkan turun ketika sudah sampai di kapal. Nah, kenapa harus keluar dari bus setibanya di kapal? Agar tidak terpanggang kepanasan di bus, jadi kita bisa menikmati angina laut di atas kapal. Perjalanan Banyuwagi-Bali cuman sejam kurang, di tengah laut zona waktu akan otomatis berubah dari WIB menjadi WITA.

Sesaat sebelum kapal sandar, kita sudah harus bersiap-siap untuk kembali ke bus. Setelah bus keluar dari kapal kita akan melewati pos penjagaan dan pemeriksaan KTP, saya menyebutnya razia KTP. Konon sih katanya razia KTP ini sudah ada sejak peristiwa Bom Bali dimana hal ini dimaksudkan untuk mengecek orang-orang yang akan masuk ke daerah Bali. Pada saat pemeriksaan KTP ini, kali kedua saya ke Bali dan saya melakukan kebodohan yang sama. Tidak membawa E-KTP. Dulu yang pertama kali tidak membawa E-KTP karena E-KTPnya saya simpan di tempat penyewaan alat outdoor, kebetulan waktu itu berangkatnya bareng salah seorang teman yang orang Bali asli jadinya aman aman aja. Kali kedua ini apes, saya menyimpan E-KTP di Jogja karena takut kalau KTPnya dibawa-bawa nanti hilang, hahaha. Hanya membawa SIM dan KTP biasa. Saya baru menyadari kalau saya telah melakukan kesalahan ketika pemeriksaan KTP dan saya dipanggil masuk ke kantor. Dijelaskan sama bapak-bapak petugasnya bahwa tidak diperkenankan masuk ke Bali jika tidak menggunakan E-KTP. Terus gimana pak? KTP saya ketinggal di Jogja, kataku kepada bapaknya. Gini, pilihannya kamu kembali ke Banyuwangi atau selesaikan di sini. mendengar bapaknya ngomong seperti itu, saya jadi teringat ketika dahulu kala pernah ditilang sama polisi karena waktu itu melanggar rambu lalu lintas, kata-katanya persis sama. Antara sedih sama pengen ketawa mendengar penjelasan si bapak. Selesaikan di sini saja pak, karena saya tidak mungkin balik ke Banyuwangi, KTP saya di Jogja, kataku kepada bapaknya. Tapi pak, saya belum ambil uang di ATM, berapa kiranya yang harus saya bayarkan? Tanyaku lagi. Seadanya aja yang kamu pegang sekarang, kata bapaknya. Pak uang di kantong saya sekarang cuman 16 ribu, ya sudah. Untuk bapak 10 ribu untuk saya 6 ribu sebagai uang saku. Bapaknya menerima dengan raut muka sedikit kesal dan saya pun pamit berlalu sambil senyam senyum mengingat kebodohanku tidak membawa E-KTP dan kerelaan bapaknya saya bayar 10 ribu. Hahahaha 


Setelah saya naik, bus kembali melanjutkan perjalanan menuju Terminal Mengwi, sebelumnya saya sampaikan ke kernetnya untuk memberitahu kami ketika busnya sudah akan masuk ke terminal agar kami tidak perlu masuk lagi ke terminal, karena isunya Grabcar atau gocar tidak bisa menjemput di dalam terminal. Pas di pertigaan jalan masuk ke terminal kami diturunkan oleh supir. Berhubung waktu sudah sore dan kami belum sholat jadi kami mencari masjid terlebih dahulu sebelum lanjut ke Ubud. Ternyata, tidak ada masjid yang bisa diakses dengan jalan kaki. Jadinya kami kembali ke Kediri salah satu daerah di Kabupaten Tabanan. Masjidnya lumayan besar dan terdapat banyak penjual makanan halal dengan harga terjangkau di sekitar masjid.
Malam harinya perjalanan di lanjutkan menuju ke Ubud. Ubud dengan ekspektasi sebuah desa yang dikelilingi pantai dan hamparan sawah yang luas seperti yang sering saya saksikan di film-film FTV. Dari masjid menuju Ubud kita bisa menggunakan transportasi online, waktu itu kami mendapat harga 98.000 dari Masjid di Kediri menuju ke Ubud. Dalam perjalanan saya berkali-kali mencoba mencari penginapan tapi hampir semuanya full, ada satu yang tersisa. Saya memutuskan untuk memesan 2 kamar tapi tidak langsung membayarnya karena ingin melihat bentuk dari penginapan tersebut terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membayar. Tak terasa, sejam kemudian setelah melewati jalan yang panjang dan gelap kami memasuki sebuah daerah yang glamour, penuh kerlap kerlip lampu, dan nampak begitu banyak bule yang seliweran di kanan dan kiri jalan, tak lama kemudian mobil berhenti di depan sebuah gang sebagai tanda tujuan kami sudah sampai. Semuanya diam, terpaku dengan keramaian Kota Ubud. Sangat jauh dari ekspektasi bahwa Ubud adalah sebuah desa yang asri, tenang, hijau, dan ekspektasi lainnya yang tidak mampu lagi terkatakan. Ubud di malam hari itu tak beda jauh dengan kondisi Kuta, sangat ramai dan penuh keglamouran. Saya mencoba mengingat lagi alasan ke Ubud, tidak seperti yang saya dapatkan malam itu. Ekspektasiku buyar seketika. Kami merasa tersesat di kota ditengah keramaian. Setelah semua turun dan barang-barang diturunkan saya bersama seorang teman menuju penginapan yang sebelumnya saya booking saat masih di mobil. Surprisingly semua kamar ternyata sudah full dan aplikasi online tersebut sudah ditutup oleh pemilik penginapan. Kami pindah dari satu penginapan ke penginapan yang lain untuk mencari kamar kosong ternyata zonk. Semuanya full. Ternyata saat kami pergi di bulan agustus tersebut itu adalah high season, jadi banyaak sekali bule yang datang ke Bali untuk liburan. Kembali menemui 2 orang teman lagi yang disuruh menunggu di depan gang dan mendiskusikan kita akan kemana setelah ini, kita tidak mendapatkan penginapan. Sambil berjalan dan mencoba menikmati kerlap kerlip keramaian Ubud saya berselancar mencari penginapan yang ada disekitar situ dan bisa diakses dengan jalan kaki, ZONK. Penginapan yang tersedia dengan dua kamar jaraknya sekitar 5KM dari Kota Ubud. Tidak ada pilihan lain, penginapan itu yang menjadi tujuan kami. Selanjutnya yang kami fikirkan adalah bagaimana akses menuju ke penginapan. Berkali-kali ngecek grab dan gojek tapi zonk, ternyata ada larangan ojek online beroperasi daerah Ubud. Pilihannya hanya dua, jalan kaki atau naik taksi lokal yang tarifnya 150.000. Dua pilihan yang sama-sama berat. “Pak, bisa antarkan kami ke Penginapan ini (sambil menunjukkan alamat penginapan yang kami maksud)”. Bisa, kata bapaknya. “Berapa pak?” Tanyaku. 150.000 kata bapaknya. Wuih mahal banget pak, bisa 50ribu gak pak? Tadi kami cek di gojek cuman 38.000. Gak bisa, kata bapaknya. Lagian juga kalian tidak bisa menggunakan ojek online di sini, lihat tuh ada tulisan ojek online dilarang masuk. Dan memang benar, tulisan larangan ojek online itu ada sepanjang mata memandang.

Kami berlalu meninggalkan si bapak sambil berdiskusi dan mencari minum. Chatime adalah tempat yang kami tuju, salah satu tempat yang harganya manusiawi dan sudah tau rasanya seperti apa. Sambil menunggu chatime disajikan, kami istirahat sejenak dan berfikir akan menggunakan apa menuju penginapan. Satu-satunya opsi adalah menggunakan taksi lokal, menimbang bahwa malam juga semakin larut. Alhamdulillahnya ketemu sama bapak supir taksi yang sudah mau pulang, jadi kami menawar harga dari harga 150.000 menjadi 100.000, kebetulan rumah si bapak searah dengan penginapan yang akan kami tempati menginap. Bapaknya begitu ramah, sepanjang jalan bercerita, dan mengantar kami sampai pas di depan penginapan yang meskipun sempat berkali-kali nyasar. Penginapan kami malam itu namanya Reddoorz Sayan Ubud dengan harga dua kamar yakni 226.000. Penginapan ini lumayan worth it, kamarnya luas dengan fasilitas lengkap dan memiliki kolam renang yang kami gunakan bersantai esok paginya.
 Kartu nama bapak yang di Ubud.

Esok paginya, kami menemui receptionist. Niat hati ingin booking kamar untuk 2 malam lagi, ternyata sampai 3 hari kedepan semua kamar sudah full booked oleh rombongan dari salah satu perusahaan. Kembali kami pusing lagi mencari penginapan. Alhamdulillah dapat di Airyrooms yang jaraknya 8 KM lebih, gapapalah dari pada tidak ada sama sekali. Menjelang siang kami gotong gotong barang pindah ke penginapan yang baru, syukurnya di penginapan sebelumnya terdapat penyewaan motor jadi mobilitas kami menjadi mudah. Harga sewa motor di Bali yakni 75.000, itu yang kami dapatkan. Gak tau kalo ada variasi harga yang lain. Oh ya, saran jika jalan-jalan ke Bali wajib banget sewa kendaraan karena kita tidak bisa mengandalkan transportasi umum yang entah ada atau tidak.

Penginapan yang pertama


Tiba di penginapan kedua, kondisinya sangat jauh berbeda dari penginapan sebelumnya. Kamarnya sempit, water heaternya tidak nyala, sepreinya seperti tidak penah diganti dalam waktu yang lama dan terdapat banyak bangkai semut di dalam kamar mandi, belum lagi di depan kamar terdapat kali besar yang dikelilingi pohon bamboo menambah paket lengkap penginapan tersebut. Penginapannya berada di dalam gang, sebuah hostel yang kerjasama dengan Airy rooms yang nampak dari kamar-kamar yang ada semuanya kosong, hanya kami tamu yang ada di hotel tersebut. Bahkan bapaknya juga sempat heran saat kami datang. Pokoknya begitulah kondisi penginapan yang kedua. Harganya bahkan lebih mahal dari penginapan yang pertama, yakni 264.000 untuk dua kamar. Gapapalah ya dari pada gak ada sama sekali. Selesai ngobrol dengan bapak pemilik penginapan dan setelah menyimpan barang kami bergegas mencari masjid, kebetulan 2 dari teman kami itu hendak menunaikan sholat jumat sekaligus kami mencari makan. Sekitar kurang dari 10 KM dari penginapan ada masjid yang juga berada di dalam gang yang akan melaksanakan ibadah sholat jumat, di depan gang masjid ada penjual nasi kuning sepasang suami istri yang katanya dari Jakarta berjualan di Bali. Si ibu pakai jilbab dan pelanggannya banyak, sepertinya pelanggannya juga kebanyakan orang-orang yang mencari makanan halal.

Cowok-cowok selesai sholat jumat dan kami selesai sholat duhur kami menuju ke destinasi yang kami lihat di google, sebuah bukit yang namanya Campuhan Hills dan Tegalalang. Berada tak jauh dari pusat Kota Ubud. Untuk sampai ke lokasi butuh waktu jalan kaki sekita 15-30 menit. Sesampainya di lokasi temanku nyeletuk, ini mah padang ilalang. Di belakang rumah juga banyak. Antara kesel, sedih, sama pengen ngakak dengar komentarnya. Keselnya karena mukanya pada bete tidak sesuai ekspektasi, pengen ngakak karena memang kenyataannya seperti itu. Bule-bule itu semangat dan exited banget melihat pemandangan itu karena mungkin di tempatnya tidak ada yang seperti itu. Kita mah karena dari kampung jadi itu adalah pemandangan yang biasa kita saksikan. Well, dari semua komentar-komentar teman-teman itu saya malah bersyukur dan takjub dengan pemandangan alam yang terhampar luas sejauh mata memandang. Udaranya dingin dan tenang. Takjub kok bisa ya bisa setenang dan sedamai itu, padahal kurang dari 1 KM di depan sana adalah kota Ubud yang ramainya luar biasa, belum lagi kendaraan yang macetnya naudzubillah di pertigaan dekat tempat parkir motor. Malamnya kami mencoba kembali menapaktilasi Kota Ubud. Kota ini glamour dan indah ternyata. Restoran kiri kanan, bule seliweran sana sini, penjual pernak pernik begitu ramai dan kami adalah populasi 1% warga lokal diantara 99% turis yang ada di Kota Ubud.

Esok harinya kami memulai perjalanan lagi. Perjalanan hari kedua jauh lebih menyenangakan dan kami mengunjungi tempat-tempat yang indah. Salah satunya yakni Desa Penglipuran, sebuah desa adat di Kabupaten Bangli dan dinobatkan sebagai desa terbersih. Tiket masuk ke Penglipuran yakni Rp 15.000. desa ini sangat indah dan bersih, janur kuning masih terpasang di depan rumah-rumah warga karena memang baru beberapa saat hari Raya Galungan dan Kuningan selenggarakan. Saya terpesona dengan Bali yang masih menjunjung tinggi tradisi, adat istiadat dan melestarikan budaya. Kayaknya ini menjadi salah satu sebab kenapa Bali selalu menjadi tempat tujuan wisata para turis. Adat istiadatnya masih dilestarikan dan banyak wisata alam yang begitu indah. Oh iya, di Penglipuran ini semua rumah warga terdapat jualan baik jualan makanan maupun jualan hasil kerajinan tangan. Warganya begitu rumah, sempat saat kami membeli minuman di rumah salah seorang warga kami melakukan obrolan dengan ibu-ibu pemilik warung tersebut. Ibunya bercerita kalau dari dulu memang warga di Penglipuran sudah menjaga kebersihan dan adat istiadat, setiap ada lomba mereka senantiasa ikut, dan hasilnya beberapa tahun kemudian desa itu masuk menjadi salah satu desa terbersih dan menjadi tujuan wisata yang paling diincar ketika ke Bali. Di sini juga terdapat sebuah tempat semacam pendopo yang menjadi tempat para penari tampil dan latihan menari bagi pengunjung yang ingin belajar menari.





Tempat kedua yang kami kunjungi di hari kedua yakni Tirtagangga, lokasinya berada di Kabupaten Karangasem. Tirtagangga merupakan terkenal dengan istana air yang dikelilingi labirin kolam dan air mancur. Tempatnya memiliki ciri khas keindahan yang berbeda dari Penglipuran. Tiket masuknya sebesar 25.000. Tak berbeda jauh dari tempat-tempat wisata lain, Tirtagangga juga dipenuhi dengan bule. Sepertinya semua tempat wisata yang ada di Bali didominasi dengan bule. Di Tirtagangga kita bisa menikmati labirin kolam yang indah, bisa memberikan makanan ikan, dan berfoto-foto.



 

Tempat ketiga yang kami kunjungi adalah pantai yang kami lihat di sepanjang jalan kami menuju Kuta. Pemandangan sore hari yang sangat indah. Inilah pemandangan yang sering saya saksikan di FTV FTV. Dari Tirta Gangga menuju Kuta kami melewati sepanjang garis pantai. Kami sengaja ke Kuta hanya untuk mencari makanan halal yang terkenal, namanya Warung Muslim Ayam Betutu Bu Ferdi. Rasanya enak dan harganya relative murah. Setelah itu kami balik lagi ke Ubud.

Keesokan harinya, yakni hari ketiga dan merupakan hari terakhir kami di Bali. Kami mendatangi tempat wisata Hidden Canyon. Tempat wisata yang sebenarnya 2 hari sebelumnya sudah kami kunjungi tapi tidak jadi kami masuki karena harganya lumayan mahal, yakni 100.000. Untungnya, saat kami ke sana lagi untuk kedua kalinya kami datang pagi-pagi sekali dan merupakan pelanggan pertama jadi kami mendapat diskon 25%, jadilah kami masuk dengan harga 75.000. Hidden canyon terletak di Ubud, dekat dari Pasar Sukowati. Di Hidden canyon ini kita akan susur sungai dengan tebing di kiri kanan dan bebatauan yang besar lagi banyak. Aktifitas yang lumayan menyenangkan dan porter yang selalu siap sedia menunjukkan jalan yang lurus bagi kami dan siap sedia senantia memotret kami setiap saat. Ini menjadi salah satu destinasi wisata yang recommended ketika ke Ubud. Menjelang akhir perjalanan Hidden Canyon nanti ada air terjun kecil yang kita diperbolehkan untuk minum langsung dari sana tapi tidak diperkenankan minum bagi yang haid. Di dekat air terjun kecil tersebut ada pendopo yang setia dibawakan sesajen. Waktu itu sempat dijelaskan oleh bapak bapak yang membawa sesajen tersebut nama-nama dewa, kenapa sesajen tersebut setiap hari harus diganti dan kenapa harus menggunakan pakaian adat, cuman karena ingatan saya yang cetek saya sudah lupa apa yang dijelaskan :/. Hihihi


At the end of the story jalan-jalan ke Ubud adalah salah satu pilihan terbaik yang pernah saya ambil, menikmati hijaunya Ubud dan sawah yang masih banyak terhampar, keramahan masyarakat dan adat istiada yang begitu kaya. Meskipun awalnya sempat menyangka kalau Ubud tidak sesuai ekspektasi, ternyata pengalaman indah yang tak terduga banyak disajikan oleh kota ini. Oh ya, pengeluaran kami selama 4 hari 3 malam di Bali sekitar satu juta sudah termasuk Akomodasi PP dari Banyuwangi, makan, penginapan, dan akomodasi selama di Bali.
 


Tibalah kami di akhir perjalanan di Bali, kami bersiap-siap untuk balik ke penginapan, siap-siap dan kembali ke terminal lalu menuju ke Banyuwangi. Oh iya, pada akhirnya meskipun penginapannya kurang nyaman kami tetap bertahan 2 malam di penginapan tersebut karena malas pindah-pindah. Untuk menuju ke terminal kami membujuk bapak pemilik penginapan untuk mengantar kami ke Terminal Mengwi. Awalnya bapaknya tidak mau karena jauh, tapi setelah dibujuk-bujuk akhirnya si bapak berkenan mengantar kami ke terminal dengan bayaran 150.000. Kali ini kami masuk di terminal mengwi dan mencari bus yang akan membawa kami menuju ke Banyuwangi. Berhubung kami sudah punya rate harga sebelumnya yakni 90.000, jadi kami pun mencari bus dengan harga yang sama menuju ke Banyuwangi. Alhamdulillah dapat. Sore harinya kami berangkat dan tiba di Banyuwangi pada malam harinya. Karena tiket kereta kami ke Jogja masih keesokan harinya akhirnya kami harus menginap lagi di Banyuwangi. Kali ini kami mendapat penginapan darurat di lantai dua rumah panggung seorang penjual nasi padang, harganya 100.000. bagi teman-teman cowok yang menggunakan mode hemat boleh banget tidur di masjid yang berada di depan pelabuhan pas. Di sana tersedia tempat menginap untuk cowok.

Sekian perjalanan kami dari Banyuwangi-Bali-Banyuwangi lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...