Minggu, 21 April 2019

Turning Point


Akan ada satu masa dimana seseorang akan mendapatkan pelajaran dari sebuah peristiwa.

"Gak usah itu ma, dia suka selfie". Sepenggal kalimat yamg kucuri dengar saat temanku lagi mengobrol dengan seseorang dibalik telefon genggamnya, belakangan kutau seseorang yang berada dibalik telefon di ujung sana adalah ibunya, obrolan mereka seputar pencarian wanita untuk menjadi istri bagi kakak temanku, anak laki-laki dari ibunya.

Saya langsung tersentak, yeah. Saya sudah menjelang umur 27 tahun. Saya masih sering mengunggah sesuatu yang kurang begitu bermanfaat, hanya untuk sekedar memamerkan bejibunnya kegiatan yang kulakukan, tapi kutak pernah berfikir mungkin saja dibalik unggahan-unggahanku itu ada yang menaruh penilaian, dan penilaian tak selalu baik, kadangkala juga penilaian buruk yang selalu menghujani.

Setelah kurunut lagi, beberapa kali saya pernah mendaftar entah itu kegiatan volunteering atau sesuatu yang bergerak dalam dunia profesional, beberapa dari mereka mempersyaratkan penulisan akun sosial media. Dan pernah sekali waktu saya pernah mengobrol dengan temanku yang merupakan salah satu alumni pengajar muda dan juga beberapa kali pernah menjadi tim rekruitmen, darinya kuketahui bahwa beberapa penyelenggara sebuah event atau perusahaan akan mencari tau rekam jejak si pendaftar melalui napak tilasnya di sosial media.

Saat wawancara bisa jadi kita mempersembahkan usaha terbaik kita, namun keseharian kita bisa tercermin dari sosial media, dari rekam jejak digital kita. Pernah suatu ketika saya menyaksikan sebuah video yang sarat akan makna, bercerita tentang seorang wanita yang mendaftar beasiswa, pada saat proses wawancara dan segala macamnya penilaian assessor begitu baik hingga dia layak untuk dipertimbangkan lulus, namun saat assessor menelusuri rekam jejak sosial medianya barulah terkuak peringai buruk sang pendaftar, dan hal tersebut yang menjadikan dia tidak diluluskan, meski semua proses yang dia lewati berjalan lancar.

Dan banyak lagi cerita mengenai rekam jejak di sosial media yang tak sedikit memberikan dampak yang merugikan bagi si empu tulisan tersebut. Kemudian menjadi self reminder untuk lebih selektif dan berhati-hati lagi untuk mengunggah sesuatu di sosial media, karena bisa jadi ketika kita tersadar dan menghapusnya tapi tetap saja rekam jejak digital takkan pernah dihapus. Kalau dulu ada analogi ucapan setajam pedang, hari ini analogi itu kemungkinan sudah berganti “jempol kita adalah pedang”, yang bisa saja merugikan kita karena salah menggunakannya.

Selasa, 09 April 2019

Tak punya uang

Hujan deras mengguyur Jogja sore kemarin, meski begitu janji tetap harus dipenuhi. Setelah kegiatan "Sekolah Perempuan" di Roemi saya lanjut menghadiri agenda rapat untuk persiapan kegiatan Tengok Desaku part 2.

Rencana awalnya mau balik ke kost dulu setelah acara sekolah perempuan, karena masih ada sekitar 2 jam waktu free sebelum akhirnya lanjut rapat, namun karena hujannya awet layaknya air tumpah saya memutuskan menunggu hujan reda di Roemi, lama berselang hujan tak kunjung berhenti hingga saya akhirnya ketiduran. Adzan ashar terdengar saya pun terbangun lalu buru-buru ke toilet dan bersiap untuk langsung datang ke lokasi rapat, waktu memunjukkan pukul 15.15, sudah telat 15 menit dari jadwal yng seharusnya. Hujan sudah mulai reda saat saya melajukan motor menuju jalan Nologaten, tepatnya di Kafe Basa Basi. Meski hujan sudah reda saya tetap memakai jas hujan, hujan yang rintik menghasilkan kuyup juga dengan intensitas yang stagnan dan lama.

Uang di dompet sisa 3ribu, saya memang jarang menyimpan uang cash dalam jumlah yang banyak di dompet, paling banyak 100K. Sore kemarin itu rencana ingin mampir ke ATM, namun ada rasa malas untuk membuka jas hujan dan masuk ke ATM. Mikirnya paling sampai di Cafe tidak akan belanja.

Tiba di Cafe Basa Basi baru ada Mega dan mas Asyhar, banyak yang konfirmasi kalau akan datang telat karena hujan yang amat deras. Mega memesan coklat panas, melihatnya menyeduh coklat sangat nikmat, ada rasa ingin untuk meneguk coklat juga. Tapi kufikir uangku tak akan cukup.

Tak lama kemudian sudah banyak yang mulai berdatangan, rapat pun dimulai, godaan coklat yang terus diaduk sama Mega menambah keinginanku untuk memilikinya. Kuambil taski dan kucek dompet, bener saja uangnya tersisa 3 ribu, kucek tempat pensil uang recehnya hanya 2ribu, lalu kutanya "Meg, harga coklatmi berapa". 10ribu, katanya.
Mau debit gak bisa, mau beli uang cahsnya gak cukup. Sambil menelan kekecewaan saya dalam hati bertekad saya harus kaya, ternyata tak punya uang itu tak enak, banyak hal yang tak mampu dimiliki meskipun keinginan sudah begitu besar.

Rintik hujan masih menemani alunan suara kami yang bergema, dan menambah dinginnya hati yang tak sanggup memiliki.

Jogja, 06 April 2019

Kamu!

Bagaimana jika bukan kamu?
Masihkah kita akan telefonan berjam-jam untuk membicarakan sesuatu yang absurd.

Bagaimana jika bukan kamu?
Masihkah kita akan nyambung membicarakan rencana-rencana yang telah kita susun.

Bagaimana jika bukan kamu? Masihkah ada diskusi-diskusi hangat tentang anak negeri yang betah kita diskusikan hingga beradu pendapat.

Bagaimana jika bukan kamu?
Masihkah kita bersemangat untuk saling berkirim kabar satu sama lain.

Ah, aku tak bisa membayangkan jika nanti ternyata bukan kamu yang Tuhan gariskan untukku.
Aku tenggelam dalam rasa nyaman. Terlena dengan visi misi dan goals hidup yang sering kita bicarakan.

Aku tak bisa membayangkan jika saja bukan kamu yang kelak menemaniku menghabiskan masa tua.

Partner yang stabil katanya adalah partner hidup, dan harapku semoga saja nanti partner hidupnya itu, kamu.

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...