Entah kapan
bermimpi untuk ke Baduy, saking sudah lama terlalu lamanya sampai lupa
waktunya, yang kuingat dulu sempat terngiang untuk ke Baduy. Dan sabtu 18-19
Agustus akhirnya mimpi itu terwujud menjadi kenyataan. Berawal dari informasi
open trip yang peroleh dari salah satu grup, akhirnya tanpa pikir panjang saya
langsung mendaftar.
Saya berangkat
dari Jogja menggunakan kereta Gaya Baru Malam Selatan yang berangkat pukul
17.08 menuju ke Stasiun Pasar Senen dan tiba pukul 2 pagi dengan harga tiket
kereta 98.000. Untungnya ada kak Syifa yang menawarkan rumahnya di Bekasi untuk
kusinggahi, jadi gak menggembel-gembel amat sampai di stasiun. Hahaha. Kocaknya
baru sadar keretanya sampai jam segitu H-1 berangkat, mau ganti tiket dengan
jadwal yang lebih “aman” juga tiketnya sudah habis. Jadi ya dinikmati aja.
Saya berangkat
dari Jogja kamis malam, dan tiba di Bekasi jumat pagi. Menggunakan ojol menuju
rumah kak Syifa setelah diberi ancer-ancer, dan tiba dengan selamat di rumah
kak Syifa sekitar jam 3 pagi. Sampai langsung disuguhi teh hangat, lalu sholat
dan istirahat. Di rumah kak Syifa akhirnya kumendengarkan native speaker dari
orang-orang Betawi yang tinggal di Bekasi berbincang-bincang, sempat
terkaget-kaget karena mendengar mereka bicara kayak orang yang lagi berantem. Hehe.
Sekaligus dapat temen baru, dedek kecil namanya Rayhan. Rayhan yang polos dan
lucuk.
Malam harinya,
setelah maghrib. Saya dan kak Syifa berangkat ke stasiun Bekasi untuk
selanjutnya menuju ke Stasiun Tanah Abang dan bertemu dengan rombongan di
stasiun Rangkas Bitung. Kami sampe di stasiun sekitar pukul 7, lalu sholat isya
di stasiun dan selanjutnya menunggu kereta dari Bekasi ke Tanah Abang. Di Stasiun
Bekasi saya bertemu dengan beberapa orang yang merupakan anggota tim, selain
kak Syifa ada Bayu dan pacarnya (Tipu), Kurnia, Septi dan Fitri. Beberapa lama
kami menunggu, keretanya pun tak kunjung datang. Waktu terus berlalu, kereta
tak kunjung kelihatan. Barulah ketika pukul 20.20 keretanya tiba. Kami langsung
naik ke kereta, mencari tempat duduk dan capcus menuju Jakarta. Kak Syifa
sebagai ketua rombongan pun deg degan, kereta yang kami tumpangi kereta yang
menuju ke Stasiun Senen dulu baru ke Tanah Abang, dan itu gak akan mungkin kami
bisa dapat kereta yang menuju ke rangkas kalau masih stay di kereta sampai
tujuan ke Tanah Abang. Akhirnya kami turun di stasiun Gang Sentiong lalu naik
gojek menuju ke Stasiun Tanah Abang untuk mengejar kereta terakhir yang akan
berangkat ke Rangkas Bitung yakni pukul 21.45. Kami turun dari kereta di Gang
Sentiong itu sekitar pukul 21.00, lalu naik gojek. Mikirnya masih 45 menit juga
keretanya baru berangkat, tapi drama selanjutnya pun terjadi. Kami melewati Jalan
Merdeka depan Monas, akhirnya kami terjebak macet parah. Jalanan yang
seharusnya bisa ditempuh 15 jadi molor menjadi 25 menit karena macet. Sampai di
stasiun Tanah Abang saya pun berlari menuju ke loket untuk membeli tiket lagi
yang menuju ke Rangkas. Beberapa menit saya menunggu Septi dan Kurnia, tapi
mereka tak kunjung datang. Dan ketika Fitri datang, saya dan Fitri berlari
menuju ke kereta. Meninggalkan Kurnia dan Septi yang waktu itu belum sampai di
stasiun Tanah Abang. Saat hendak naik escalator, saya melihat Bayu yang sedang
menunggu si Tipuk. Namun saya dan Fitri tetap berlarian menyelamatkan diri
sendiri dulu. Setelah lari-lari, naik turun escalator akhirnya sampai juga di
kereta. Di kereta sudah ada kak Syifa, Chedar, kak Dini, Ergi, dan Dikara. Saya
dan Fitri langsung duduk. Tak lama kemudian, Septi dan Kurnia sudah datang juga
dengan nafas yang ngos-ngosan. Kami sisa menunggu Tipuk dan Bayu. Diteleponin berkali-kali
gak diangkat, ternyata drama berlanjut. Uang Bayu dipegang Tipuk, Tipuk sudah
masuk duluan, Bayu tertinggal di luar, dan ternyata saat dia turun dari gojek
dia belum bayar ongkos gojeknya, akhirnya si Tipuk keluar membawakan uang untuk
Bayu, Bayu berlari menuju jalan raya tempat ojek berada, baru kembali berlari
masuk menuju tempat tap tiket lalu menuju ke kereta. Untungnya semua datang
tepat waktu jadi tak ada tragedy ketinggalan kereta hehehe
Perjalanan
menuju Stasiun Rangkas Bitung. Kereta berangkat pukul 21.45 dan tiba di Rangkas
Bitung pukul 23.50. Harga tiket KRLnya hanya 8.000. setibanya di Rangkas, di
sana kami bertemu dengan Aziz, kak Dian, Fitra dan Nining. Istirhat dan
bersih-bersih sejenak di stasiun lalu berjalan menuju ke ELF yang sudah
menunggu di ujung pasar. Kami berangkat ke Baduy setengah 1 pagi dan tiba
setengah 2 Pagi di Ciboleger. Titik awal untuk memulai perjalanan menuju ke
Baduy. Kami foto-foto sejenak lalu berjalan menuju ke rumah Kang Emen, salah
satu warga Baduy luar yang rumahnya kami jadikan tempat menginap semalam. Nah,
mulai dari Baduy luar ini sudah taka da listrik. Rumahnya pun sudah seragam,
terbuat dari anyaman bambu dan rumbia. Karena kami ber 15 dan rumahnya lumayan
sempit kalau kami tempati untuk tidak berjamaah di dalam rumah, jadi ada yang
tidur di luar ada juga yang tidur di dalam. Catatan nih yang mau ke Baduy,
bagusnya bawa SB biar gak kedinginan, karena cuaca di Baduy ternyata dingin
cuyyy.
Keesokan harinya,
kami bangun sholat subuh, packing dan lanjut sarapan. Dan memulai perjalanan
sekitar pukul setengah 9 pagi hari sabtu, 18 Agustus 2018. Baduy ini terdiri
dari dua, ada Baduy luar dan ada Baduy dalam. Pembeda paling Nampak yakni dari
penutup kepala. Baduy luar memakai penutup kepala hitam dan Baduy dalam memakai
penutup kepala putih. Nah kalau Baduy Dalam mereka tidak memakai alas kaki sama
sekali, sedangkan Baduy luar ada yang pake tapi kebanyaka yang tidak. Kami memulai
berjalan menuju ke Baduy dalam, jalanan yang kami lewati tidaklah mudah. Mesti naik
turun bukit dan melewati hutan adat. Dalam perjalanan, kami bertemu dengan
beberapa rombongan wisatawan, baik yang baru mau masuk ke Baduy maupun mereka
yang sudah bersiap untuk pulang. Ternyata, perjalanan menuju ke Baduy dalam
kita akan melewati beberapa kampung. Jadi di dalam hutan ada beberapa kampung
hingga akhirnya kita nanti akan sampai di Baduy dalam. Kalau tidak salah ingat
ada sekitar 5-7 kampung.
Jarak antar
satu kampung dengan kampung yang lain diantarai hutan, yang sisi kanannya itu
jurang. Jadi ketika berjalan kita mesti hati-hati dalam melangkah. Jangan khawatir
kalau kehabisan bekal air minum atau makanan, disetiap kampung yang dilewati
pasti akan ada penjual. Bahkan ketika weekend, aka nada penjual air minum yang
akan mengikuti para wisatawan hingga ke Baduy dalam, harga air mineral 10.000
dan Pocari Sweat 12.000
Ketika mau
berkunjung ke Baduy ada baiknya untuk latihan fisik dulu, jogging beberapa hari
sebelum berangkat agar tubuhnya tidak kaget ketika langsung berhadapan dengan
kondisi tracking jalan yang naik turun bukit, melewati sungai dan jembatan.
Hehehe. Waktu tempuh normal wisatawan 5-6 jam hingga masuk di Baduy dalam. Tapi
bagi warga lokal, mereka bisa sampai hanya dalam waktu sejam, keren gak tuh,
prok prok prok. Tepuk saluuut.
FYI nih,
jadi nanti porter yang mendampingi itu akan memberitahu para wisatawan batas
antara Baduy luar dan Baduy dalam, dan beberapa larangan yang tidak boleh kita
lakukan. Seperti tidak boleh mendengarkan music, tidak boleh mengambil gambar,
tidak boleh menggunakan pasta gigi dan sabun, dan ketika malam hari tiba, kita
hanya diperbolehkan untuk menyenter ke bawah, tidak boleh ke atas.
Keadaan di
Baduy dalam. Rumahnya masih sama dengan rumah di Baduy luar, terbuat dari
anyaman bambu dan rumbia. Tidak ada penerangan listrik sama sekali. Ketika memasak
mereka menggunakan tungku, alat masaknya pun rata-rata masih tradisional. Tidak
ada sendok besi, tidak ada gelas besi apalagi kaca. Hampir semua barang yang
ada di dalam rumah terbuat dari barang tradisional. Nah, biasanya tariff menginap
di rumah warga Baduy itu sekitar 300.000, mereka akan sekalian memasak untuk
kita, dengan catatan kita membawa sendiri bahan bakunya. Rata-rata pekerjan
orang Baduy itu adalah berladang, pagi-pagi mereka ke ladang, sore harinya
mereka pulang membawa kayu bakar. Tak ada perbedaan gender, semuanya bekerja
sama. Meskipun mereka khususnya cewek-cewek itu setiap hari ke lading, mandi
tidak memakai sabun, mereka tampak putih bersih dan mulus. Sampai teman-teman
seperjalanan itu takjub dengan paras orang-orang Baduy yang cantik alami tanpa
make up, dan kuat luar biasa. Ke Ladang membawa anak bagi yang sudah memiliki
anak, anaknya digendong di depan, kayu bakarnya digendong di belakang. Di Baduy
dalam, semua pada mandi di sungai. Jadi batas antara cewek sama cowok pun ada. Di
sebelah barat jembatan khusus cowok, di sebelah timur khusus cewek. Jadi tidak
boleh bercampur. Ada kekhususan nih bagi kaum cewek. Di dekat sungai itu
dibangun sebuah bilik yang di dalamnya terdapat air mengalir, jadi safe untuk
mandi dan pipis tanpa harus was was ada yang melihat, meskipun tidak memiliki
atap. Tapi setidaknya sudah melindungi sebagian, hehehe. Hmmmp apalagi ya, oh
iya. Ada batas wilayah yang boleh diakses oleh orang luar, penandanya dua buah bambu
yang dibentangkan. Dan masyarakat luar tidak boleh melewati batas bambu
tersebut, konon di balik batas itu adalah rumah tetua adat Suku Baduy. Aliran kepercayaan
Suku Baduy itu Sundawiwitan. Di suku Baduy ada RT adat, yang merupakan Rumah
Tahanan (RT) adat, semacam tahanan rumah bagi mereka yang melanggar adat. Adapun
hewan yang diharamkan untuk mereka makan yakni kambing dan Babi. Mereka tidak
sekolah, karena memang tidak ada sekolah di dalam sana, tapi bisa membaca atau
tidak saya kurang tahu.
Mereka bisa
ya hidup disini, terus pasrah banget dengan kehidupan seperti ini. Ungkap seorang
teman, ya bisalah. Mereka itu bahagia dan menikmati hidupnya disini, seperti
ini. Kita aja yang menyangka mereka tidak menerima hidupnya dengan kondisi yang
seperti itu. Karena kita membawa konsep kota dan membandingkan dengan kehidupan
mereka. Ya tidak sebandinglah, ungkapku. Ya begitulah kebanyakan orang kota
ketika masuk ke suatu suku atau ke pedalaman, kadang selalu membawa konsep
perbandingan kota ke dalam perjalanan, dan mempertanyakan kok bisa ya mereka
hidup? Kenapa begini? Kenapa begitu? Serentetan pertanyaan yang mungkin tidak
akan bisa kita jawab jika masih mengungkung pemikiran dalam konsep kota yang
kita bawah. Ah begitulah. Kita memang harus terus berjalan, terus bertemu
dengan banyak orang. Agar kita bisa lebih banyak belajar, lebih open minded dan
tidak premature untuk menghakimi sesuatu yang kita belum tahu.
Sehari di
Baduy lumayan banyak memberikan pengetahuan baru. Keesokan paginya, setelah
sarapan kami siap-siap untuk kembali. Jalan kaki menuju ke Cakuang, nah di
jalur Cakuang ini nanti kita akan disuguhi pemandangan yang tidak kalah
bagusnya. Dan ada jembatan akar yang legendaris, dibawahnya mengalir air sungai
yang begitu jernih. Di ujung jalan, saat kami sudah melewati hutan, nanti akan
ketemu dengan jalan bebatuan, di sana sudah banyak ojek dadakan yang akan
mengantarkan para wisatawan yang sudah kelelahan.
Berjalan kurang
dari sejam dari pangkalan ojek tadi, ELF yang akan kami tumpangi sudah
menunggu. ELF yang membawa kami kembali ke Stasiun Rangkas setelah melewati
jalanan yang bagaikan roller coster. Hahaha
Kami pun
kembali ke habitat kami masing-masing. Saya kembali menuju stasiun senen dan
menunggu kereta malam yang akan membawaku menuju ke Jogja. Pulangnya saya
menggunakan kereta Bogowonto dengan harga tiket 220.000. berangkat dari Senen
pukul 21.45 dan tiba di Jogja 06.04 keesokan harinya.
Terimakasih
untuk semua yang telah berpartisipasi dalam perjalanan ini, hihihi. Dapat cerita
baru, pengalaman baru dan teman baru.
Rumah orang Baduy
Perjalanan menuju Baduy dalam, foto dengan orang Baduy dalam
Rumah orang Baduy
Jembatan akar
Tempat menumbuk padi secara tradisional
Foto di Patung Ciboleger sebelaum memasuki Baduy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar