Selasa, 19 Desember 2017

Dirimu berharga





Pernah merasa hidupmu tak berguna?
Pernah punya niatan untuk menghilang?
Pernah merasa tidak dihargai?
Pernah merasa apa yang kamu lakukan kok sia-sia?

Wajar! Namanya juga manusia. Perasaan-perasaan seperti itu pernah menyapa hampir semua orang. Namun, pernah tidak berfikir kalau dirimu itu ternyata berharga? Ternyata kehadiranmu dirindukan oleh banyak orang. Ternyata hidup yang selama ini kau anggap biasa-biasa aja begitu berarti bagi orang lain. Pernah tidak memikirkan itu?

Pernah tidak berusaha menghargai diri sendiri?
Pernah tidak mengapresiasi diri sendiri?
Pernah tidak menyadari bahwa dirimu itu berarti dan berharga?

Kehidupan pesimisme atas diri sendiri terjadi karena kebiasaan kita membandingkan diri kita dengan kelebihan orang lain. Kenapa sih mesti melakukan itu? Ketika ternyata kita mampu menjadi terbaik versi diri kita.

Haru campur bahagia, ketika mendapati kenyataan bahwa kehidupanku yang aku anggap biasa-biasa saja, kehidupan yang sering aku keluhkan, kehidupan yang sering aku banding-bandingkan dengan orang lain, ternyata begitu berharga. Orang-orang yang menyayangiku begitu banyak.

Saat musim ujian, ketika tugas menyerang bertubi-tubi, aku kedatangan tamu. Di waktu dan kondisi yang tidak tepat. Ini bukan kali pertama aku kedatangan kamu semenjak aku tinggal di kota ini. Tapi ini adalah tamu yang datang di waktu yang tidak tepat namun begitu membuatku speechless. Gimana gak, dia datang ke Jogja khusus untuk bertemu denganku. Belajar bersamaku. Dia dulunya adalah murid privateku ketika aku masih di Makassar. Dan ketika dia libur, dia bela-belain nyamperin ke Jogja untuk bertemu dan belajar. Sesuatu yang membuatku tak habis fikir, kok bisa dia melakukan itu. Padahal tempat kursus di Makassar banyak banget, kenapa mesti kesini untuk belajar denganku? Sespesial itukah aku untuknya? Seberharga itukah aku baginya?

Belum lagi cerita sahabatku ketika kuliah S1 dulu, masih teringat ceritanya ditelefon beberapa waktu lalu, ketika dia menyuruhku segera pulang dan dia menceritakan selama aku pindah kota dia tidak pernah ke mall lagi karena tidak ada teman. Padahal aslinya dia memiliki banyak teman yang bisa diajaknya untuk jalan-jalan.

Cerita yang lain datang dari teman-teman yang lain, bagaimana mereka merencanakan untuk bertemu denganku, mengajakku jalan-jalan ketika aku pulang kelak. Hal sederhana yang mampu membuat air mataku terkadang tak terbendung.

Sepenggal cerita yang selalu menjadi reminder ketika aku merasa hidupku “tidak berharga”, sebuah alarm ketika aku merasa terjatuh. Ternyata hidupku begitu berharga, ternyata kehidupan yang menurutku biasa-biasa saja begitu luar biasa bagi orang lain, dan aku menyadari satu hal kemanapun aku pergi, sejauh apapun kaki ini melangkah, ada “rumah” tempatku kembali. Ada orang-orang yang tetap dan akan selalu mencintai dan menyayangiku tanpa syarat.

Kamis, 14 Desember 2017

Normalkah?




Wajarkah?

Normalkah?

Saya wanita berusia 25 tahun dan saya masih sangat menikmati kesendirian. Saya bergaul dengan banyak orang, saya bermain kemanapun saya ingin, saya melakukan banyak kegiatan hingga terkadang lupa untuk memikirkan diri sendiri. Dulu, saya berpikir ketika menempuh pendidikan pascasarjana saya akan bertemu dengan banyak orang-orang tua di kelas. Nyatanya, ketika saya menjalaninya, saya dipertemukan dengan anak-anak yang usianya 3-4 tahun dibawah umur saya. Saya menikmati bersama mereka, saya terhanyut dalam pikiran dan dunia mereka, hingga saya lupa. Sekarang, umur saya sudah ¼ abad.

Apalagi yang dipermasalahkan oleh orang-orang terhadap wanita ¼ abad selain pembahasan pernikahan? Entah, masihkah ini tergolong wajar, masihkah saya normal jika diumur saya yang ¼ abad ini belum memikirkan soal pernikahan. Saya menolak dewasa, permasalahan orang-orang dewasa begitu pelik. Saya menikmati kesendirian, beraktifitas dan bebas tanpa ikatan. Saya resah, saya khawatir jika saya terus seperti ini, saya akan melewati hari-hari tua seorang diri.

Pergaulan dengan banyak orang di masa lalu, dengan banyak tipe lelaki, dari yang baik hingga yang paling brengsek, dari yang setia hingga yang rutin gonta ganti pacar. Membuat secara sadar atau tidak saya mengalami “trauma”, skeptis terhadap suatu hubungan, apalagi saat mendengar kalimat-kalimat dari orang orang yang sudah menikah bahwasanya keindahan pernikahan hanya 3 bulan pertama, selebihnya hanyalah tanggung jawab. Saya makin ragu untuk menjalaninya.

Arrghhh. Sampai kapan harus seperti ini, bayangan “hukuman sosial” pun sudah didepan mata. Hardikan dan cibiran orang-orang, mendapati wanita separuh baya yang masih betah sendiri. Bukan, ini bukan betah. Hanya saja masih belum menemukan orang yang tepat.

Saya takut. Takut sama diriku sendiri. Jangan-jangan saya yang membentengi diri. Saya yang memasang tembok yang begitu tinggi hingga tak ada orang yang mampu untuk menembusnya. Banyak orang-orang yang dekat, namun tak seorang pun yang berkesan. Saya khawatir, resah, dan takut. Saya tak tau sampai kapan ini akan berakhir. Sampai kapan ada orang yang benar-benar bisa saya terima dalam hidup saya. Sampai kapan saya betah dengan diri sendiri.

Minggu, 10 Desember 2017

Lagi lagi tentangmu



Fotomu yang paling natural. Foto yang diambil dari jarak jauh dan di zoom beberapa kali oleh salah seorang teman. Aku suka melihat senyumanmu yang begitu lepas, bukan hanya “haha” dan “hehe”, ketawa yang terkesan begitu tertahan. Senyumanmu yang selama ini irit, dan tiba-tiba mendapat foto seperti ini bak oase di padang pasir, begitu menentramkan. 

Dalam keruwetan dan kepusingan hingga hampir menangis mengerjakan tugas UAS yang sudah beberapa minggu dianggurkan, aku teringat tentangmu, dan memutuskan kembali menulis tentang dirimu. Aku ingin berterima kasih atas segala pelajaran yang telah kau berikan, baik dalam situasi formal ataupun sikap dan tindak tanduk yang kemudian menjadi pelajaran hidup untukku. Semoga kita akan tetap bersama, bekerjasama dalam banyak hal, mewujudkan usaha yang pernah diwacanakan, berdiskusi rutin untuk menambah khasanah pengetahuan kita. 

Tuh kan menulis tentangmu membuat tulisannya pun ikut kaku dan kikuk. 

Baru kali ini, aku yang begitu ceplas ceplos dalam berbicara, berusaha untuk begitu hati-hati dalam bercuap-cuap dengan seseorang. Dan seseorang itu, kamu! Saat berbicara denganmu aku begitu berhati-hati. Setiap kata yang terucap aku selalu merasa bodoh, apapun yang terucap kau selalu mengusut sampai ke akar-akarnya, hingga seringkali aku harus memutar otak dan menjawab gelagapan pertanyaanmu yang beruntun, dan disaat itulah kebodohanku akan terkuak -__-. Obrolan yang awalnya ringan, pembicaraan yang tujuannya bercanda ketika berbicara denganmu semuanya berubah menjadi serius. 

Namun, itulah kamu. Dengan ciri khas yang begitu serius. Kalau gak serius pastilah bukan kamu. Bahkan bercandaanmu pun adalah becandaan yang garing karena candaan diseriusi. Lagi-lagi pendapat subjektif yang hanya melihat kamu dari luarnya saja tanpa benar-benar tau kau seperti apa. Meskipun pengetahuanku tentangmu masih begitu dangkal, namun aku senang bercerita tentangmu, memikirkanmu, dan menulis pendapat subjektifku tentang dirimu.

Sebenarnya tak ada yang spesial, namun akupun tak tau mengapa sering sekali menjadikanmu objek tulisan.

Ada yang paling menyebalkan darimu, setidaknya itu menurutku. Kau yang begitu berwibawa akan luluh karena wanita. Ah, mungkin memang benar adanya, harta tahta wanita adalah 3 hal yang akan membuat pria jatuh. Tapi tak masalah, kamu kan normal! Jadi wajar saja ketika wanita mampu membuat kewibawaanmu goyah. Semoga saja tiga hal duniawi tersebut hanya membuatmu goyah, dan tidak sampai terjatuh.  

Lebih baik diam dan kerja nyata dibanding banyak bicara tapi tidak melakukan apa-apa. (HI 25th) Nah ini mungkin yang menjadikanmu Nampak begitu cuek. 

Aku sebenarnya perhatian, katamu. Buktinya? Biarlah akan terjawab seiring perjalanan waktu. Bukankah waktu adalah jawaban yang paling indah?

Selasa, 05 Desember 2017

Kau, akan selalu istimewa



Tak salah jika namanya menjadi kota Istimewa. Dulu, sekarang dan nanti akan tetap begitu.

Kota yang penuh dengan kisah dan cerita.

Kota yang berkonspirasi menciptakan persahabatan dan perasaan.

Kota yang tak pernah pudar pesonanya.

Kota yang tak pernah bosan kujamahi.

Kota yang begitu ramah meski penduduknya silih berganti datang dan pergi.

Kota yang penuh dengan kesenian dan kreatifitas.

Kota yang sarat adat dan budaya

kota yang melahirkan banyak rindu

Kota yang mencipta banyak cinta

Kota yang mengajarkan banyak hal

Kota yang akan selalu istimewa ❤

Jogja di awal desember yang cerah (00:14 am)

Selasa, 21 November 2017

Aku tak suka!



  
Banyak hal dalam hidup ini yang tidak bisa kita paksakan, pun tak semuanya harus sejalan dengan apa yang kita inginkan. “Impian adalah sebuah kebahagiaan yang tak pernah teraih. Kenyataan adalah sesuatu yang pahit, Tri Mastoyo”.

Seperti saat ini, aku harus terjebak dalam dunia yang sama sekali tak pernah kusukai. Jangankan suka, memikirkannya saja tidak pernah. Ya, dunia politik. Saat ini, atau mungkin sudah dari dulu, tapi aku yang baru menyadarinya, dunia  politik tidak hanya mereka yang duduk di singgasana perwakilan-perwakilan rakyat di pemerintahan, namun telah merambah ke dunia kampus.

Rangkaian pemilihan demi pemilihan sudah terjadwal, kampanye politik dengan poster keunggulan masing-masing calon berseliweran di grup-grup, pun juga persuasi dalam kehidupan nyata. Saling mengunggulkan kandidat calon dengan sesuatu yang bahkan tidak penting namun tetap dihubung-hubungkan agar nampak sebagai sebuah keunggulan. Palsu! Drama! Aku tak suka!

Aku hampir frustasi menghadapi situasi seperti ini, serangan politik datang dari berbagai penjuru, kiri, kanan, depan, belakang! Aku tak suka! Aku terjebak! Teman-teman dekatku ada dalam daftar calon-calon yang bertaruh demi menduduki singgasana kekuasaan. Aku mau berlari, namun aku tak mampu. Aku terjebak! Terjebak dalam kondisi untuk ikut andil mengkampanyekan dan mensosialisakan teman-temanku yang mencalonkan diri. Aku tak suka!

Aku tak suka!

Tapi mau atau tidak, ikhlas atau tidak, aku harus berdamai dengan keadaan agar aku tak stress menghadapi semua ini, agar aku bisa menikmati dan menjalaninya. Aku kembali harus belajar menjalani sesuatu yak tak aku sukai. Teringat kata Pak Inu, salah satu pembicara pada stadium general Mubes HMP kala itu “kamu boleh benar, tapi orang lain belum tentu salah. Kalau ada sesuatu yang baru, kalau ada sesuatu yang tak kamu sukai, jangan di tolak mentah-mentah. Terima saja, pelajari dulu, diolah, kalau baik ya diaplikasikan dalam hidup, kalau gak baik diambil sebagai sebuah pelajaran”.

Selamat berdamai dan belajar dari ketidaksukaan.

Senin, 20 November 2017

Rasa



Pernah benci dengan seseorang hingga mendengar namanya pun kau muak?
Perah suka sama seseorang hingga semua akun sosial medianya kau kepoin?
Pernah kagum sama seseorang hingga semua tentangnya begitu indah bagimu?
Pernah memblokir seseorang dan menghapus semua chatnya hanya karena kesel?

Tenang saja, itu sesuatu yang wajar. Dan bahkan mungkin hampir semua orang pernah mengalaminya? Tapi, perihal rasa. Jangan terlalu di dramatisir, senormal mungkin saja, meskipun pada nyatanya ketika berbicara soal rasa, tak semua orang bisa nyantai menghadapinya.

Layaknya iman, seperti semangat. Rasa pun sangat cepat terbolak-balikkan. Bisa saja detik ini kamu sangat membenci seseorang, namun di detik selanjutnya kamu bisa saja tiba-tiba jatuh cinta. Bisa saja hari ini kamu mabuk kepayang dengan seseorang, namun esok atau lusa tiba-tiba kamu harus menangis tersedu-sedu karena tersakiti.

Perihal rasa. Terkadang tertawa dan geli sendiri, ketika di umur yang sudah tak remaja lagi masih membahas soal rasa yang tak karuan. Tentang si anu dan si una. Tentang baper dan laper.  Ah rasa, memang tak mengenal batas usia. Tak peduli pintar atau bodoh, semua logika akan lumpuh karena rasa. Entah itu rasa benci atau cinta. Entah itu rasa kagum atau muak. Hidup memang terkadang selucu ini.


Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...