Akhirnya
liburan lagi, ngecamp lagi, setelah berbulan-bulan hanya tinggal di rumah
mengikuti anjuran pemerintah. Namun, kali ini rasa-rasanya liburannya tidak
seheboh dan semenyenangkan liburan-liburan sebelumnya. Bukan, bukan karena
orang-orangnya, bukan karena tempatnya, melainkan karena kondisinya.
Kondisi
covid19 yang belum juga mereda menyisakan rasa khawatir untuk kemana-mana,
bersenang-senang hanya dengan dalih rindu liburan. Lalu, kalau khawatir ngapain
pergi Maemunah? Hmmp alasannya karena ingin berkumpul bersama orang-orang yang
selama bertahun-tahun belakangan tidak lagi pernah berkumpul dan bercanda tawa
seperti dulu waktu masih berstatus mahasiswa.
Untuk
mengatasi rasa khawatir serta tidak enak kepada nakes dan orang-orang yang
masih tetap memilih di rumah aja dalam kondisi seperti ini, saya berkomitmen
untuk tidak mengunggah foto liburan. Agar tidak menjadi trigger orang-orang
untuk melakukan hal yang sama. Meski alasan ini pun sama sekali tak bisa dijadikan
pembenaran.
Perjalanan
ke Pulau Barrang Lompo didasari dengan alasan ingin ngecamp dan kebetulan di
sana ada salah satu rumah adik junior. Perjalanan ditempuh dengan durasi waktu
kurang lebih satu jam, berangkat dari dermaga Kayu Bangkoa menggunakan kapal
kecil dengan muatan lebih dua puluh orang. Rencana awalnya berangkat usai
sholat ashar molor hingga menjelang maghrib. Tapi ada untungnya juga berangkat
menjelang maghrib, kami jadi bisa menikmati sunset di tengah laut lepas.
Alhamdulillahnya lagi ombak tidak begitu kencang.
Menjelang
pukul 7 malam kami tiba di Dermaga Barrang Lompo. Jeng jeng jeng, beberapa dari
kami yang berekspektasi akan ngecamp harus menelan kekecewaan menyaksikan
kondisi Barrang Lompo yang ternyata sebuah perkampungan padat penduduk. Bukan
pulau-pulau private yang bisa ngecamp di bawah pohon-pohon kelapa. Tidak ada
bibir pantai yang bisa memanjakan mata dan kaki kami dengan pasir-pasir
indahnya, yang ada hanya dermaga
Kami
silaturahmi sejenak di rumah Eja’, salah satu junior kami. Sembari teman-teman
panitia menyiapkan tenda yang akan ditempati untuk menginap. Lokasi
didirikannya tenda tidak jauh dari rumah Eja’, yakni di halaman sebuah penginapan
milik Fakultas Kelautan Unhas (Marine Center). Tenda-tenda yang dibangun
dikhususkan untuk teman-teman yang cowok, sedangkan yang cewek disewakan dua
kamar di dalam Marine Center. Satu kamar ada 4 kasur dengan harga 100.000, harga
yang sangat terjangkau.
Sekitar
pukul 9 malam kami akhirnya makan malam dengan menu seafood segar. Cumi-cumi beserta ikan dengan berbagai varian
ditemani sambal tomat yang menggugah selera. Tidak cukup waktu yang lama untuk
kami menghabiskan makanan yang tersedia di meja makan (red: meja dadakan yang
terbuat dari papan dengan alas batu bata). Kami lalu melanjutkan bercengkrama di
antara tenda-tenda yang sudah didirikan, di bawah pohon-pohon rindang yang
telah diberikan lampu-lampu untuk penerangan kami.
Keesokan
paginya saya dan Nurul ke dermaga untuk melihat sunrise. Ternyata di dermaga
sudah ada Kak Aco’ dan Ai’ yang juga menanti sunrise. Dan benar aja sunrise di
Barrang Lompo sangat indah, mirip dengan gambar-gambar yang ada di wallpaper.
Menjelang siang kami ada agenda snorkeling. Eja’ membawa kami ke sebuah titik
yang biasa ditempati orang-orang untuk snorkeling. Lokasinya hanya sekitar 10
menit dari Dermaga Barrang Lompo. Keindahan bawah laut bisa disaksikan dari
atas kapal karena kejernihan air. Saya memilih untuk tidak ikut snorkeling karena
sebelumnya sudah mandi dan malas untuk mandi kedua kalinya. Karena tidak turun
ke air akhirnya mendapat mandat untuk menjadi tukang foto teman-teman yang
turun ke air. Banyak pose yang lucu nan menggemaskan.
Teman-teman
yang selama ini suka berpetualang ternyata hanya akrab dengan gunung hutan,
tetapi tidak dengan laut. Alhasil butuh waktu cukup lama untuk memberanikan
diri melepaskan pegangan dari kapal. Mereka anak-anak mapala yang tidak bisa
berenang. Meskipun sudah menggunakan pelampung sebagian dari mereka masih saja
merasa ketakutan untuk terjun bebas ke air. Pemandangan muka panik dan
ketakutan menjadi sebuah pemandangan yang indah dan lucu. Setelah sudah sedikit
lebih berani untuk nyemplung ke air mereka malah lupa untuk balik. Saking senang
dan excited melihat pemandangan bawah
laut yang begitu indah.
Sekitar
3 jam kemudian setelah semuanya puas untuk bermain air, kami kembali ke dermaga
lalu ke penginapan untuk makan siang dan bersiap untuk pulang. Rencana awalnya
mau balik siang molor hingga habis ashar. Ternyata karena kesorean ombaknya
tinggi dan angin begitu kencang. Alhasil kami yang rencana balik sore akhirnya
baru bisa meninggalkan dermaga setelah sholat maghrib.
The adventure just began.
Balik ke Makassar dalam kondisi matahari sudah tenggelam, hari sudah gelap,
ombak yang tinggi, angin yang kencang, dan kapal yang digunakan lebih kecil
dari kapal yang digunakan berangkat. Benar-benar menguji adrenalin dan menambah
kadar keimanan. Tak hentinya suara istighfar dan kata-kata “jangan panik,
jangan goyang, jaga keseimbangan” terdengar.
Di
tengah laut suara istighfar berkali-kali terdengar. Saat suara mesin kapal rendah
artinya ombak meninggi dan kita sudah bisa bersiap-siap dengan ombak yang
mengombang-ambingkan kapal. Di tengah gelap malam masih ada cahaya bulan dan
bintang yang mampu membuat mata kami terbelalak melihat gulungan ombak yang ada
di sisi kiri kanan depan belakang kapal. Setiap ombak menghantam kapal suara
istighfar lantang terdengar setelah itu kembali hening. Sekitar 10 menit
menjelang tiba di dermaga Kayu Bangkoa ombak sudah mulai bersahabat, air laut
sudah mulai tenang, dan kami tiba di dermaga dengan selamat sekitar pukul
delapan malam. Alhamdulillah. Liburan di tengah pandemi yang penuh kejutan
berakhir dengan selamat.
Sunset di Dermaga Kayu Bangkoa dan foto kapal yang kami gunakan
Sunrise di Dermaga Barrang Lompo
Foto saat snorkeling
Muka lega saat tiba di Makassar dengan selamat
Gambaran kapal yang kami tumpangi balik dengan muatan 20 orang lebih
(Sumber Google)
Makassar, 14 September 2020