Bergabung dalam dunia volunteeran selama beberapa tahun ke belakang, umur yang terus bertambah, diri yang terus bertumbuh, sedikit banyak berpengaruh pada pola pikir. Melihat gaya volunteeran anak-anak sekarang yang ternyata masih sama dengan volunteeran 5-7 tahun silam. Ya, mungkin memang cocok dengan audience yang kebanyakan volunteernya masih di rentan usia early 20, tapi bagi saya yang usianya sudah 25+ rasa-rasanya melihat kondisi yang ada di lapangan menimbulkan banyak tanya juga komplain yang menari di kepala.
Berkegiatan dalam kondisi pandemi seperti saat ini, melahirkan tanya di kepala, apa yang sebenarnya kita cari, untuk apa dan untuk siapa semua ini? Apakah benar untuk adik-adik atau masyarakat, atau untuk eksistensi lembaga/komunitas kita, atau mungkin untuk ego kita yang ingin terus berkegiatan, jenuh dengan ketidak sibukan dan ketidak produktifan dan ingin terus berbuat sesuatu yang kita nilai sebagai sesuatu yang baik. Nyatanya, permasalahan di lapangan sangat kompleks, tidak cukup hanya dengan modal niat baik dan melakukan kegiatan yang seolah-olah menggugurkan kewajiban yang sebenarnya kita tidak punya kewajiban apa-apa untuk berkegiatan. Berkegiatan sehari dan "memaksa" menghadirkan adik-adik demi terlaksananya kegiatan kita mungkin bukanlah kebutuhan adik-adik, tapi mungkin kebutuhan ego kita.
Berbeda cerita ketika kegiatan yang kita lakukan rutin kita adakan setiap minggu. Mungkin dampaknya bisa lebih kelihatan, mungkin banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka bukan kebutuhan kita. Misal membuat inisiasi untuk membantu guru-guru yang selama ini mengalami kesulitan dalam proses sekolah online, melakukan sosialisasi ke orang tua untuk pendampingan anak belajar, pemeriksaan kesehatan atau mendampingi adik-adik dalam proses belajarnya yang mungkin kesulitan karena harus belajar jarak jauh.
Berkegiatan di sekolah dalam kondisi pandemi hanya nampak menggugurkan kewajiban yang kita tidak wajib dan tidak ada yang mengharuskan kita untuk itu. Yang berbekas di kepala adik-adik bisa jadi hanya hadiah yang mereka dapatkan dari kegiatan yang kita lakukan. Sungguh, saya sangat tidak sepakat cara membujuk adik-adik dengan iming-iming hadiah, hal tersebut hanya akan membentuk “mental hadiah” , atau dengan cara “mengancam” adik-adik agar nurut, oh no, itu cara-cara lama yang mungkin kita alami dan sudah tidak perlu lagi kita teruskan ke generasi selanjutnya, karena akan berdampak dalam bentuk trauma ke adik-adik. Cukuplah kita yang mengalami dan memutus pola pembelajaran dengan sistem ancaman. Membuat adik-adik menurut harusnya dibangun dengan kebijaksanaan bukan ketakutan.
Meski banyak pergulatan batin selama proses mengikuti kegiatan volunteeran beberapa hari kemarin. Namun, ada begitu banyak hal juga yang menjadi pengalaman dan memberikan pelajaran. Bisa melihat kenyataan langsung kondisi adik-adik usia sekolah yang jauh dari sorotan dan tidak memiliki akses pembelajaran online seperti sekolah-sekolah di kota. Akibatnya, mereka benar-benar menjalani libur panjang. Tidak belajar sama sekali. Untungnya ada beberapa orang yang mendedikasikan diri dan ilmunya untuk mengajar adik-adik sehingga mereka ada kegiatan lain selain bermain. Arus globalisasi yang begitu cepat dan mengharuskan kita untuk bisa adaptif dengan teknologi, nyatanya tidak bisa dipukul rata, karena kenyataannya Indonesia dengan kondisi yang begitu luas dengan kontur geografis yang beragam belum semuanya mendapat akses yang setara. Listrik belum menjangkau semua titik apalagi internet. Kondisi pendidikan kita memang sekompleks itu dan butuh kerja kolektif yang terstruktur untuk membuat perubahan. Pendidikan alternatif yang diusung oleh teman-teman bisa menjadi sebuah solusi, hanya saja butuh direncanakan dan dikoordinir dengan baik. Meski banyak protes tapi saya menaruh apresiasi yang besar kepada orang-orang yang meski hidupnya sekarang tidak jauh lebih baik, tapi masih mau meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan juga finansial untuk terus berbagi dan terus menyalakan energi kebaikan.