Minggu, 29 Desember 2019

Refleksi 2019


Rasanya baru saja menulis refleksi tahun 2018 dan resolusi tahun 2019. Sekarang sudah berada lagi di penghujung tahun. Menulis adalah salah satu cara untuk merawat ingatan maka dari itu saya membuat catatan ini, untuk merawat ingatan saya akan hari-hari yang telah saya lalui. Begitu banyak kisah jatuh dan bangu, memulai dan mengakhiri di tahun 2019. Menerima dan melepaskan. Saya mencoba mengumpulkan kepingan kenangan tersebut dalam sebuah catatan kecil ini. 

Puji syukur kepada Tuhan serta salawat kepada Rasul-Nya.

#1 Terimakasih ya Allah untuk nikmat sehat dan umur panjang, nikmat rejeki dan kelapangan, dan segala nikmat yang tak terhingga yang telah engkau curahkan kepadaku, keluargaku, teman-temanku, dan orang-orang yang aku kenal dan mengenalku, serta orang-orang yang telah engkau ciptakan dan beri nyawa.

#2 Mengawali tahun 2019 dengan menonton konser di JCM lalu nongkrong hingga pagi di McD Jakal. Di waktu yang bersamaan mendapat e-mail dari dosen pembimbing mengenai revisi proposal yang telah saya kirimkan beberapa waktu yang lalu. Perjalanan dan perjuangan baru dimulai di awal tahun 2019.

#3 Menggarap proposal hingga menyelesaikan tesis dan ujian. Begitu banyak hal yang terjadi dalam proses mengerjakan tugas akhir ini. Begitu banyak rasa yang bercampur aduk. Sedih, senang, berjuang, jatuh, disindir, pembuktian, hingga tangisan haru. Tidak seperti kisah mengerjakan skripsi yang berjalan begitu mulus, mengerjakan tesis terasa perjuangan dan air matanya. Mulai dari revisi yang tiada henti, cibiran dari orang-orang karena saya yang tak bisa lepas dari kegiatan-kegiatan yang dianggap akan mengganggu penyelesaian tugas akhirku, berjuang dari pagi hingga malam di perpustakaan hingga anemia, berpindah dari satu kafe ke kafe yang lain untuk mencari mood mengerjakan tesis, tangisan karena revisi yang seakan tiada akhir disaat teman-teman yang lain tampak begitu mulus berlenggok ke ruang ujian, hingga tangisan haru setelah mendapat tanda tangan ACC dan ujian tanpa banyak kendala yang berarti. Melihat orang-orang terkasih datang satu persatu memberikan ucapan selamat dan turut berbahagia, serta mendapati begitu banyak kebahagiaan dan kepeduliaan terangkum dalam sebuah teks yang dikirimkan pada hari ujian.

Mulai menyicil mengumpulkan bahan dari akhir tahun 2018, lalu memulai mengerjakan di awal tahun 2019. Minggu ini revisi, minggu depan saya datang lagi untuk menyetor hasil revisian, begitu seterusnya hingga beberapa bulan. Bahkan mungkin dosen pembimbing bosan melihat saya setiap minggu. Namun, karena saya menyadari bahwa saya tidak begitu pintar jadi yang bisa saya andalkan adalah ketekunan. Barulah pada tanggal 10 Mei 2019 tanda tangan yang dinantikan itu akhirnya didapatkan, persetujuan untuk maju ujian. Banyak hal yang saya pelajari dan syukuri dari proses revisian yang tiada henti, banyak hal baru yang saya dapatkan, sesuatu yang selama ini seringkali saya acuhkan, sesuatu yang ternyata begitu penting. Salah satunya cara penulisan dan pemilihan diksi, serta pengetahuan baru tentang bahasa Bugis Makassar yang selama ini saya pakai, adanya penyimpangan dalam berbahasa yang ternyata ketika diusut ada sebab musabab sejarah dan budaya di dalamnya. Terimakasih tesis, prosesmu mengajarkanku untuk menjadi pejuang, untuk banyak belajar, untuk lebih keras dalam berusaha dan berdoa. Tanggal 28 Mei adalah jadwal ujian, hari dimana saya harus mempertanggungjawakan apa yang telah saya tulis dihadapan dosen pembimbing dan penguji, dan pada akhirnya mendapat gelar tambahan M.A. Masih teringat salah satu petuah dari dosen penguji kala itu, “Kartini, tenang saja, ini hanyalah ujian yang tidak cukup 2 jam. Ujian sesungguhnya telah kamu lalui selama proses menulis tesis berbulan-bulan”. Seketika air mata seakan berlomba ingin berhamburan keluar, mengingat proses panjang penulisan tesis tersebut. Dalam ujian pun, kata-kata dari dosen pembimbing yang disampaikan kepada para dosen penguji membuat rasa haru menyelinap ke dalam dada, “Kartini ini sangat telaten, dia rajin sekali revisian dan mengumpulkan hasil revisiannya”, kata-kata sederhana tapi terasa menyihir. Ternyata selama ini dosen pembimbing juga melihat proses bolak balik revisian yang tiada akhir. Ditutup dengan tepukan di pundak oleh dosen penguji, “Kartini nanti kalau sudah mau menikah kabari saya ya, beritahu berapa uang panaikmu dan kirimkan undangan serta foto calonmu” saya hanya membalasnya dengan senyuman dan satu kata “Iya”. Maklum saja, dari awal perkuliahan saat baru semester satu di mata kuliah Bahasa dan Budaya hingga judul tesis, saya selalu mengangkat yang berhubungan dengan uang panai’  entah dilihat dari bahasanya atau dari budayanya.

#4 Berangkat seminar ke Bandung. Perjalanan kali ini masuk ke dalam perjalanan yang begitu menyenangkan. Bagaiamana tidak, perjalanan yang meski jauh tapi dijalaninnya bersama teman-teman. Perjalanan kurang lebih 8 jam menggunakan kereta ekonomi Jogja-Bandung tidak terasa begitu lama karena diisi dengan banyak cerita, candaan, serta permainan. Di Bandung kami menginap di asrama UIN Bandung. Tempat yang bisa menampung kami yang datang rombongan dan tentunya gratis. Di Bandung kami tak hanya ikut seminar, tapi mendapat bonus jalan-jalan. Kawah Putih dan kebun teh yang bisa dinikmatin secara gratis.

#5 Berangkat ke Situbondo, bonus jalan-jalan ke pantai dan Baluran. Bulan 3, bulan dimana Pipit melangsungkan pernikahan. Kami, rombongan berangkat dari Jogja menuju ke Jember, lalu melanjutkan perjalanan ke Situbondo. Rombongan perjalanan ini tak kalah ramainya dengan perjalanan sebelumnya dari Jogja Bandung. Jogja Situbondo pun penuh cerita. Perjalanan panjang selama 12 jam diisi dengan banyak cerita dan gaya hingga akhirnya kereta berhenti di stasiun Jember lalu kami dijemput menuju ke Situbondo. Perjalanan kali ini mendapat bonus jalan-jalan ke Baluran, tempat yang selama ini hanya masuk ke dalam resolusi yang belum kesampaian, tapi dengan datang ke kondangan akhirnya disempatkan untuk sekalian main.

#6 Ikut kegiatan volunteer. Bulan 2 menjadi relawan Tengok Desaku dan melakukan kegiatan di Ngawi selama beberapa hari, bonus jalan-jalan ke Benteng Vanderbosh, museum, tempat wisata Srambang dan Candi Ceto. Masih di bulan 2, menjadi panitai sekaligus koordinator sekaloh dalam kegiatan massive action yang dilaksankan serentak oleh Mata Garuda di seluruh Indonesia. Menjadi relawan Rumah Belajar Indonesia Bangkit selama satu semester. Bulan 5 menjadi relawan Terjun Desaku, bonus jalan-jalan ke air terjun Jumog. Bulan 7 kembali mengikuti kegiatan Tengok Desaku part 2 tetap di Kabupaten Ngawi, kali ini tidak mengikuti kegiatan sampai selesai disebabkan harus segera balik ke Jogja karena orang tua sudah datang untuk menghadiri wisuda. Menginisiasi kegiatan LCD (Ladies Community Development) bersama beberapa teman yang berisi kajian keperempuanan.

#7 Jalan-jalan part I. Mendaki di Gunung Andong dan Camping di Bukit Klangon. Sebuah usaha untuk liburan tipis-tipis, melipir sejenak dari hiruk pikuk kota dan menjauh dari rutinitas yang lumayan menguras tenaga, pikiran, dan hati. Lalu di bulan juni menemani Tyas mengambil data di Bandungan, penelitian sambil jalan-jalan dan belajar tentang kehidupan dari petani bunga di Bandungan.

#8 Wisuda untuk kedua kalinya. Sebuah pencapaian yang sangat saya syukuri. Disaat kegiatan yang tiada hentinya sejak menjadi maba, hingga wisuda. Saya berterima kasih kepada Allah dan diri sendiri atas pencapaian ini. Lulus tepat waktu bahkan kurang dari 2 tahun, menjawab semua sinisan orang-orang yang sempat khawatir saya akan membayar UKT untuk semester selanjutnya. Bersyukur karena ada orang tua meski hanya mama yang datang di prosesi wisuda, etta yang mensupport materil dan doa dari jauh. Serta teman-teman yang selalu ada mendampingi. Periode ini pun menjadi periode dengan lulusan terbanyak untuk kelas linguistik. Bersyukur berada di lingkaran-lingkaran yang penuh support dan aura positif.

#9 Jalan-jalan part II. Dimulai dari Jogja, Bandung, Jakarta, Pangandaran, Bekasi, Jogja, Banyuwangi, Bali, Jogja, Makassar. Ini merupakan perjalanan akhir sebagai seseorang dengan domisili Jogja yang masa tinggalnya hampir saja expired. Akhir juli berangkat ke Bandung untuk megikuti pelatihan SIAware, lalu melanjutkan perjalanan ke Jakarta untuk ikut seminar bahasa yang diadakan oleh Balai Bahasa, lalu ke Pangandaran bersama dengan anak-anak Kuliner Karaeng mengunjungi Erik yang mendapat tugas penempatan KPU Pangandaran, kembali ke Bekasi ke rumah Siti untuk lebaran Idul Adha, balik ke Jogja untuk berkemas-kemas guna melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi dan Bali. Berdua dengan Kafa berangkat dari Jakarta ke Jogja dan berempat dengan Rayhan, Ana, dan Kafa menuju ke Banyuwangi. Di Banyuwangi kami jalan-jalan ke Kawah Ijen (Yess, akhirnya satu tempat yang menjadi resolusiku pun tergapai), Pantai Rajegwesi, Greenbay, De Jawatan. Lalu melanjutkan perjalanan ke Bali menggunakan bis dari Banyuwangi menyeberang ke Bali, kena razia KTP karena lagi lagi tidak membawa e-KTP. Di Bali kami jalan-jalan ke Ubud (yess, ini pun salah satu list tempat yang ingin kudatangi di Bali dan akhirnya kesampaian, meski ekspektasi tak sesuai kenyataan. Awalnya saya mengira Ubud adalah pantai yang di sekitarnya dikelilingi sawah yang hijau seperti yang biasa ada di FTV, ternyata jauh dari harapan, tapi meski begitu Bali tetap eksotis dengan perbedaan dan kekayaan budayanya), selain Ubud, tempat yang kami kunjungi juga adalah Hidden canyon, Tegalalang, Penglipuran yang merupakan desa terbersih di Indonesia, dan Tirta Gangga.
Bali merupakan destinasi terakhir sebelum balik ke Jogja lalu pulang ke Makassar.

#10 Melepaskan dan dilepaskan, mengantar dan diantar, ditinggalkan dan meninggalkan. Tahun 2019 merupakan tahun dimana banyak sekali pertemuan dan jauh lebih banyak perpisahan. Merelakan satu persatu teman-teman rasa saudara untuk kembali ke kampung halaman masing-masing setelah mendapat jutaan pelajaran dan kisah selama dua tahun di Jogja dan selembar ijazah, berpisah dengan bapak ibu kost yang telah menjadi orang tua sekaligus rumah selama di Jogja.

#11 Babak baru kehidupan di Makassar, setelah dua tahun meninggalkan Makassar, agustus 2019 akhirnya kembali memulai lagi dan menyambung lagi silaturrahmi yang sempat renggang karena perpisahan selama dua tahun. Bukan proses yang mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru, orang-orang baru, kebiasaan-kebiasaaan baru. Berat tapi tetapi harus dijalani. Terhitung butuh waktu sebulan lebih untuk berdamai dengan kenyataan dan beradaptasi kembali dengan lingkungan Makassar dan orang-orangnya.

#12 Berangkat ke Kalimantan. Akhir bulan 10 saya dan mama berangkat ke Kalimantan untuk mendampingi kakak ipar yang hendak melahirkan. Akhirnya ketambahan satu bayi mungil di keluarga kami, bayi laki-laki yang menjadi mata air dan kebahagiaan di keluarga kami. Sekitar satu bulan saya berada di Kalimantan, menikmati rutinitas yang meski itu-itu saja tapi saya bahagia, tenang, dan merasa lapang. Selain di Kalimantan Selatan tempat dimana kakak saya tinggal, saya pun menyempatkan diri untuk jalan-jalan ke Grogot di Kalimantan Timur untuk mengunjungi sahabat saya yang sudah lama tak bersua.

#13 Balik ke Makassar dan menjalani rutinitas nine to five. Salah satu program LKP Panrita yakni kelas intensif dilaksanakan selama 10 hari berturut-turut untuk 1 batch, dan tahun 2019 ada 2 batch yang dilaksanakan. Lumayan terasa bahagia dan capeknya selama 20 hari berturut-turut berangkat sebelum matahari terang dan balik saat gelap. Hitung-hitung simulasi menjadi seseorang dengan rutinitas nine to five atau bahkan lebih lama dari itu.

#14 Mendaftar CPNS Kementerian Desa dan lolos administrasi. Sekarang sementara persiapan dengan cara belajar bersama dengan kelompok ceria dan ikut belajar di kelas intensif. Apapun hasilnya itu adalah hak preogratif Allah. I do my best, let God do the rest.

#15 Bahagia, sedih, jatuh, bangun, tersungkur, bangkit, tertawa, menangis. Begitu banyak emosi yang bercampur dan silih berganti selama tahun 2019. Bertemu dengan beragam kisah, orang-orang dengan berbagai macam karakter, serta emosi yang beragam mengajarkanku banyak hal.

Terima kasih 365 harinya tahun 2019 untuk banyak hal yang mengaduk emosi, memberikan kekuatan, support, kebahagiaan, kesedihan, pelajaran, dan perjuangan. Untuk berragam orang-orang baru yang kutemui, orang-orang yang selalu ada dan menyayangiku dengan tulus, orang-orang yang memberikan perhatian dalam bentuk sindiran. Terimakasih karena kalian saya menjadi jauh lebih tegar dan kuat. Untuk banyak perjalanan dan tempat yang telah memperlihatkan banyak sisi dan memberikan banyak pelajaran. Terimakasih untuk banyak penerimaan dan penolakan. Terimakasih.  

I’m ready to face the new year and the new challenge.

Thanks to my self telah berjuang sejauh ini dan tak pernah menyerah. Kata seseorang boleh kalah, boleh salah tapi tak boleh menyerah. Yes, I did.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...