Senin, 20 Agustus 2018

Sepenggal kisah perjalanan ke Baduy


Entah kapan bermimpi untuk ke Baduy, saking sudah lama terlalu lamanya sampai lupa waktunya, yang kuingat dulu sempat terngiang untuk ke Baduy. Dan sabtu 18-19 Agustus akhirnya mimpi itu terwujud menjadi kenyataan. Berawal dari informasi open trip yang peroleh dari salah satu grup, akhirnya tanpa pikir panjang saya langsung mendaftar.

Saya berangkat dari Jogja menggunakan kereta Gaya Baru Malam Selatan yang berangkat pukul 17.08 menuju ke Stasiun Pasar Senen dan tiba pukul 2 pagi dengan harga tiket kereta 98.000. Untungnya ada kak Syifa yang menawarkan rumahnya di Bekasi untuk kusinggahi, jadi gak menggembel-gembel amat sampai di stasiun. Hahaha. Kocaknya baru sadar keretanya sampai jam segitu H-1 berangkat, mau ganti tiket dengan jadwal yang lebih “aman” juga tiketnya sudah habis. Jadi ya dinikmati aja.

Saya berangkat dari Jogja kamis malam, dan tiba di Bekasi jumat pagi. Menggunakan ojol menuju rumah kak Syifa setelah diberi ancer-ancer, dan tiba dengan selamat di rumah kak Syifa sekitar jam 3 pagi. Sampai langsung disuguhi teh hangat, lalu sholat dan istirahat. Di rumah kak Syifa akhirnya kumendengarkan native speaker dari orang-orang Betawi yang tinggal di Bekasi berbincang-bincang, sempat terkaget-kaget karena mendengar mereka bicara kayak orang yang lagi berantem. Hehe. Sekaligus dapat temen baru, dedek kecil namanya Rayhan. Rayhan yang polos dan lucuk. 

Malam harinya, setelah maghrib. Saya dan kak Syifa berangkat ke stasiun Bekasi untuk selanjutnya menuju ke Stasiun Tanah Abang dan bertemu dengan rombongan di stasiun Rangkas Bitung. Kami sampe di stasiun sekitar pukul 7, lalu sholat isya di stasiun dan selanjutnya menunggu kereta dari Bekasi ke Tanah Abang. Di Stasiun Bekasi saya bertemu dengan beberapa orang yang merupakan anggota tim, selain kak Syifa ada Bayu dan pacarnya (Tipu), Kurnia, Septi dan Fitri. Beberapa lama kami menunggu, keretanya pun tak kunjung datang. Waktu terus berlalu, kereta tak kunjung kelihatan. Barulah ketika pukul 20.20 keretanya tiba. Kami langsung naik ke kereta, mencari tempat duduk dan capcus menuju Jakarta. Kak Syifa sebagai ketua rombongan pun deg degan, kereta yang kami tumpangi kereta yang menuju ke Stasiun Senen dulu baru ke Tanah Abang, dan itu gak akan mungkin kami bisa dapat kereta yang menuju ke rangkas kalau masih stay di kereta sampai tujuan ke Tanah Abang. Akhirnya kami turun di stasiun Gang Sentiong lalu naik gojek menuju ke Stasiun Tanah Abang untuk mengejar kereta terakhir yang akan berangkat ke Rangkas Bitung yakni pukul 21.45. Kami turun dari kereta di Gang Sentiong itu sekitar pukul 21.00, lalu naik gojek. Mikirnya masih 45 menit juga keretanya baru berangkat, tapi drama selanjutnya pun terjadi. Kami melewati Jalan Merdeka depan Monas, akhirnya kami terjebak macet parah. Jalanan yang seharusnya bisa ditempuh 15 jadi molor menjadi 25 menit karena macet. Sampai di stasiun Tanah Abang saya pun berlari menuju ke loket untuk membeli tiket lagi yang menuju ke Rangkas. Beberapa menit saya menunggu Septi dan Kurnia, tapi mereka tak kunjung datang. Dan ketika Fitri datang, saya dan Fitri berlari menuju ke kereta. Meninggalkan Kurnia dan Septi yang waktu itu belum sampai di stasiun Tanah Abang. Saat hendak naik escalator, saya melihat Bayu yang sedang menunggu si Tipuk. Namun saya dan Fitri tetap berlarian menyelamatkan diri sendiri dulu. Setelah lari-lari, naik turun escalator akhirnya sampai juga di kereta. Di kereta sudah ada kak Syifa, Chedar, kak Dini, Ergi, dan Dikara. Saya dan Fitri langsung duduk. Tak lama kemudian, Septi dan Kurnia sudah datang juga dengan nafas yang ngos-ngosan. Kami sisa menunggu Tipuk dan Bayu. Diteleponin berkali-kali gak diangkat, ternyata drama berlanjut. Uang Bayu dipegang Tipuk, Tipuk sudah masuk duluan, Bayu tertinggal di luar, dan ternyata saat dia turun dari gojek dia belum bayar ongkos gojeknya, akhirnya si Tipuk keluar membawakan uang untuk Bayu, Bayu berlari menuju jalan raya tempat ojek berada, baru kembali berlari masuk menuju tempat tap tiket lalu menuju ke kereta. Untungnya semua datang tepat waktu jadi tak ada tragedy ketinggalan kereta hehehe

Perjalanan menuju Stasiun Rangkas Bitung. Kereta berangkat pukul 21.45 dan tiba di Rangkas Bitung pukul 23.50. Harga tiket KRLnya hanya 8.000. setibanya di Rangkas, di sana kami bertemu dengan Aziz, kak Dian, Fitra dan Nining. Istirhat dan bersih-bersih sejenak di stasiun lalu berjalan menuju ke ELF yang sudah menunggu di ujung pasar. Kami berangkat ke Baduy setengah 1 pagi dan tiba setengah 2 Pagi di Ciboleger. Titik awal untuk memulai perjalanan menuju ke Baduy. Kami foto-foto sejenak lalu berjalan menuju ke rumah Kang Emen, salah satu warga Baduy luar yang rumahnya kami jadikan tempat menginap semalam. Nah, mulai dari Baduy luar ini sudah taka da listrik. Rumahnya pun sudah seragam, terbuat dari anyaman bambu dan rumbia. Karena kami ber 15 dan rumahnya lumayan sempit kalau kami tempati untuk tidak berjamaah di dalam rumah, jadi ada yang tidur di luar ada juga yang tidur di dalam. Catatan nih yang mau ke Baduy, bagusnya bawa SB biar gak kedinginan, karena cuaca di Baduy ternyata dingin cuyyy. 

Keesokan harinya, kami bangun sholat subuh, packing dan lanjut sarapan. Dan memulai perjalanan sekitar pukul setengah 9 pagi hari sabtu, 18 Agustus 2018. Baduy ini terdiri dari dua, ada Baduy luar dan ada Baduy dalam. Pembeda paling Nampak yakni dari penutup kepala. Baduy luar memakai penutup kepala hitam dan Baduy dalam memakai penutup kepala putih. Nah kalau Baduy Dalam mereka tidak memakai alas kaki sama sekali, sedangkan Baduy luar ada yang pake tapi kebanyaka yang tidak. Kami memulai berjalan menuju ke Baduy dalam, jalanan yang kami lewati tidaklah mudah. Mesti naik turun bukit dan melewati hutan adat. Dalam perjalanan, kami bertemu dengan beberapa rombongan wisatawan, baik yang baru mau masuk ke Baduy maupun mereka yang sudah bersiap untuk pulang. Ternyata, perjalanan menuju ke Baduy dalam kita akan melewati beberapa kampung. Jadi di dalam hutan ada beberapa kampung hingga akhirnya kita nanti akan sampai di Baduy dalam. Kalau tidak salah ingat ada sekitar 5-7 kampung. 

Jarak antar satu kampung dengan kampung yang lain diantarai hutan, yang sisi kanannya itu jurang. Jadi ketika berjalan kita mesti hati-hati dalam melangkah. Jangan khawatir kalau kehabisan bekal air minum atau makanan, disetiap kampung yang dilewati pasti akan ada penjual. Bahkan ketika weekend, aka nada penjual air minum yang akan mengikuti para wisatawan hingga ke Baduy dalam, harga air mineral 10.000 dan Pocari Sweat 12.000

Ketika mau berkunjung ke Baduy ada baiknya untuk latihan fisik dulu, jogging beberapa hari sebelum berangkat agar tubuhnya tidak kaget ketika langsung berhadapan dengan kondisi tracking jalan yang naik turun bukit, melewati sungai dan jembatan. Hehehe. Waktu tempuh normal wisatawan 5-6 jam hingga masuk di Baduy dalam. Tapi bagi warga lokal, mereka bisa sampai hanya dalam waktu sejam, keren gak tuh, prok prok prok. Tepuk saluuut. 

FYI nih, jadi nanti porter yang mendampingi itu akan memberitahu para wisatawan batas antara Baduy luar dan Baduy dalam, dan beberapa larangan yang tidak boleh kita lakukan. Seperti tidak boleh mendengarkan music, tidak boleh mengambil gambar, tidak boleh menggunakan pasta gigi dan sabun, dan ketika malam hari tiba, kita hanya diperbolehkan untuk menyenter ke bawah, tidak boleh ke atas.

Keadaan di Baduy dalam. Rumahnya masih sama dengan rumah di Baduy luar, terbuat dari anyaman bambu dan rumbia. Tidak ada penerangan listrik sama sekali. Ketika memasak mereka menggunakan tungku, alat masaknya pun rata-rata masih tradisional. Tidak ada sendok besi, tidak ada gelas besi apalagi kaca. Hampir semua barang yang ada di dalam rumah terbuat dari barang tradisional. Nah, biasanya tariff menginap di rumah warga Baduy itu sekitar 300.000, mereka akan sekalian memasak untuk kita, dengan catatan kita membawa sendiri bahan bakunya. Rata-rata pekerjan orang Baduy itu adalah berladang, pagi-pagi mereka ke ladang, sore harinya mereka pulang membawa kayu bakar. Tak ada perbedaan gender, semuanya bekerja sama. Meskipun mereka khususnya cewek-cewek itu setiap hari ke lading, mandi tidak memakai sabun, mereka tampak putih bersih dan mulus. Sampai teman-teman seperjalanan itu takjub dengan paras orang-orang Baduy yang cantik alami tanpa make up, dan kuat luar biasa. Ke Ladang membawa anak bagi yang sudah memiliki anak, anaknya digendong di depan, kayu bakarnya digendong di belakang. Di Baduy dalam, semua pada mandi di sungai. Jadi batas antara cewek sama cowok pun ada. Di sebelah barat jembatan khusus cowok, di sebelah timur khusus cewek. Jadi tidak boleh bercampur. Ada kekhususan nih bagi kaum cewek. Di dekat sungai itu dibangun sebuah bilik yang di dalamnya terdapat air mengalir, jadi safe untuk mandi dan pipis tanpa harus was was ada yang melihat, meskipun tidak memiliki atap. Tapi setidaknya sudah melindungi sebagian, hehehe. Hmmmp apalagi ya, oh iya. Ada batas wilayah yang boleh diakses oleh orang luar, penandanya dua buah bambu yang dibentangkan. Dan masyarakat luar tidak boleh melewati batas bambu tersebut, konon di balik batas itu adalah rumah tetua adat Suku Baduy. Aliran kepercayaan Suku Baduy itu Sundawiwitan. Di suku Baduy ada RT adat, yang merupakan Rumah Tahanan (RT) adat, semacam tahanan rumah bagi mereka yang melanggar adat. Adapun hewan yang diharamkan untuk mereka makan yakni kambing dan Babi. Mereka tidak sekolah, karena memang tidak ada sekolah di dalam sana, tapi bisa membaca atau tidak saya kurang tahu.

Mereka bisa ya hidup disini, terus pasrah banget dengan kehidupan seperti ini. Ungkap seorang teman, ya bisalah. Mereka itu bahagia dan menikmati hidupnya disini, seperti ini. Kita aja yang menyangka mereka tidak menerima hidupnya dengan kondisi yang seperti itu. Karena kita membawa konsep kota dan membandingkan dengan kehidupan mereka. Ya tidak sebandinglah, ungkapku. Ya begitulah kebanyakan orang kota ketika masuk ke suatu suku atau ke pedalaman, kadang selalu membawa konsep perbandingan kota ke dalam perjalanan, dan mempertanyakan kok bisa ya mereka hidup? Kenapa begini? Kenapa begitu? Serentetan pertanyaan yang mungkin tidak akan bisa kita jawab jika masih mengungkung pemikiran dalam konsep kota yang kita bawah. Ah begitulah. Kita memang harus terus berjalan, terus bertemu dengan banyak orang. Agar kita bisa lebih banyak belajar, lebih open minded dan tidak premature untuk menghakimi sesuatu yang kita belum tahu. 

Sehari di Baduy lumayan banyak memberikan pengetahuan baru. Keesokan paginya, setelah sarapan kami siap-siap untuk kembali. Jalan kaki menuju ke Cakuang, nah di jalur Cakuang ini nanti kita akan disuguhi pemandangan yang tidak kalah bagusnya. Dan ada jembatan akar yang legendaris, dibawahnya mengalir air sungai yang begitu jernih. Di ujung jalan, saat kami sudah melewati hutan, nanti akan ketemu dengan jalan bebatuan, di sana sudah banyak ojek dadakan yang akan mengantarkan para wisatawan yang sudah kelelahan.

Berjalan kurang dari sejam dari pangkalan ojek tadi, ELF yang akan kami tumpangi sudah menunggu. ELF yang membawa kami kembali ke Stasiun Rangkas setelah melewati jalanan yang bagaikan roller coster. Hahaha

Kami pun kembali ke habitat kami masing-masing. Saya kembali menuju stasiun senen dan menunggu kereta malam yang akan membawaku menuju ke Jogja. Pulangnya saya menggunakan kereta Bogowonto dengan harga tiket 220.000. berangkat dari Senen pukul 21.45 dan tiba di Jogja 06.04 keesokan harinya.

Terimakasih untuk semua yang telah berpartisipasi dalam perjalanan ini, hihihi. Dapat cerita baru, pengalaman baru dan teman baru.


Rumah orang Baduy

Perjalanan menuju Baduy dalam, foto dengan orang Baduy dalam

Rumah orang Baduy

Jembatan akar

Tempat menumbuk padi secara tradisional

Foto di Patung Ciboleger sebelaum memasuki Baduy

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...