Kamis, 31 Juli 2025

Rekap Juli 2025

(Source: Pinterest)

Sepanjang bulan Juli, kayaknya situasinya lebih banyak di survival mode dan surrender. Benar-benar terjun ke low frequency. Tak terhitung berapa banyak malam yang kulalui dengan air mata. Menangis di kamar, di motor, atau saat melihat sesuatu secara random. Mengawali bulan Juli dengan berdamai pada kenyataan bahwa ditipu oleh seseorang yang amat kupercaya sebagai orang yang baik, kami yang harus segera mencari kantor yang baru untuk bernaung, dan ternyata tempat yang kami sewa dengan alasan lebih murah karena uang terbatas malah menjadi tempat kami mengeluarkan uang jauh lebih banyak karena harus renovasi dan menanggung beban kecurian.

Tak terhitung berapa banyak musibah yang datang bertubi-tubi di waktu yang bersamaan, hingga hanya bisa pasrah dan menerima bahwa “yang penting tubuh kita sehat, keluarga sehat, segala hal yang berbentuk materi akan ada kemungkinan datang dan pergi”. Hampir aja setiap hari ada berita yang menguras emosi, di satu sisi saya menyadari perasaan itu tapi tidak memberikan ruang pada diriku sendiri untuk memvalidasi emosi itu karena logikaku jalan dan mengatakan ”kamu harus stabil karena kalau tidak stabil akan ada entitas yang akan membuat kehidupan menjadi worst”. Jadi ada pertentangan antara rasa yang harusnya merasa tapi ditentang oleh otak yang memaksa untuk tetap logis. Ini keadaan yang terjadi di Panrita.

Di BIPA, satu persatu siswa melanjutkan perjalanan, Makassar memang hanyalah tempat mereka singgah, bukan tujuan. Saya tau ini sejak awal, tapi sesiap apa pun kita dengan perpisahan, akan selalu ada ruang kesedihan saat perpisahan itu terjadi. Bukan hanya karena perpisahan raga yang membuat sedih, tapi kepergian mereka juga berarti tidak ada kelas di Alekawa. Ini bukan hanya perihal penghasilan yang pasti akan terpengaruh, tapi saya tidak lagi memiliki teman-teman diskusi yang bisa mendiskusikan banyak hal, mulai dari kehidupan sehari-hari yang kelihatannya sepele, tapi juga hal-hal mendalam yang tidak semua orang mau atau mampu mendiskusikannya.

Sontak, saya menjadi “pengangguran” berstatus. Tidak ada jadwal ngajar di Panrita untuk saat ini karena tidak ada kelas CPNS, di Alekawa pun tersisa satu keluarga yang juga akan pindah bulan depan yang artinya tidak ada siswa untuk sekarang.

Tiba-tiba muncul ketidakpercayaan diri dan meragukan diri sendiri akan sesuatu yang dimiliki, keraguan akan kemampuan, menjadi lebih overthinking dan gampang melow yang mungkin karena mengasihani diri sendiri. Ada beberapa kekhawatiran dengan situasi ini yang kemudian kucoba figure out, apakah ini fakta atau opini. Misalnya: Ketika saya tidak bekerja saya merasakan apa? Oh ternyata saya merasa takut tidak produktif, saya tidak bisa bayar cicilan rumah, dan saya tidak bisa belanja. Lalu saya melanjutkan pertanyaan lagi “apakah yang saya rasakan fakta atau opini”? Oh ternyata saya tetap bisa produktif dengan mengerjakan beberapa hal yang tertunda karena kesibukan kemarin-kemarin, oh ternyata saya masih bisa bayar cicilan rumah dengan bantuan orang tua, oh ternyata saya masih bisa belanja yang tiba-tiba dapat rejeki entah dari mana. Ternyata ketakutan yang saya rasakan hanya opini yang berseliweran di pikiran, bukan sebuah fakta. Setelah saya figure out dan breakdown saya menemukan beberapa hal hanya asumsi semata, tapi tak serta merta hal tersebut merubah situasi hati, masih ada sedih-sedihnya, masih ada khawatirnya, masih ada takutnya. Saya memvalidasi semua rasa itu. Setidaknya sekarang lebih jernih melihat bahwa kenyataan hidupku tidak se-fucked up itu.

 

Lalu, hari ini, orang tua datang dari kampung, randomly duduk di teras dan ngobrol sama bapak. Mungkin Bapak juga kerasa kalau anaknya kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Bapak nanya “kamu tidak ngajar”?, saya lalu menceritakan kondisi yang terjadi sebulanan ini. Bapak mencoba menguatkan dan menyemangati. Tak terasa saya menangis (semoga bapak tidak menyadari meskipun suaraku berubah saat cerita). Selama ini tak pernah cerita masalah kerjaan secara detail ke orang tua, tapi malam ini entah kenapa tiba-tiba keterusan untuk cerita semuanya. Kami keluarga yang harmonis dan cukup dekat, tapi tidak seterbuka itu menceritakan semua hal yang terjadi dan yang dirasakan, jadi saat ada moment itu bisa kejadian saya merasa tidak sendirian dan menangis terharu karena merasa “apapun yang terjadi, akan selalu ada orang-orang dekat yang yang hadir tidak hanya secara fisik, tapi secara emosional dan juga doa”.

Terima kasih Juli atas segala ceritanya.

Home sweet home, 30 Juli 2025



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perubahan Pola Hidup

  Anak kecil yang selalu bisa menciptakan bahagia dengan cara yang sangat sederhana, sesederhana membuat jungkat jungkit dari bambu bekas ya...