Dulu aku begitu mengagumimu, sangat mengagumimu.
Kisah perjalananmu kuikuti, tulisanmu kubaca dengan penuh hayat, diselang waktu luangmu km masih sempat membalas chatku yang random, aku begitu menggilai karyamu, perjalananmu, kisah hidupmu. Kisahmu kurasa "aku banget", kenekatanmu keliling Indonesia menjadi inspirasiku, sempat kuberfikir untuk membuang diri sama sepertimu.
Hingga tiba disatu titik muak, saat kau kembali di kota kelahiranmu, kau telah sibuk manggung sana sini, kau sudah larut dalam dunia nyatamu, aku menemukan tulisanmu tak luar biasa lagi, aku memilih untuk berhenti mengikutimu, menutup mata dari semua karya yang kau publish.
Aku tak tau rasa apa yang menyerangku, cemburukah? Marahkah? Atau apakah itu? Bahkan sampai detik ini, saat tulisan diarymu yang kau pamerkan di media sosial yang mendapat apresiasi dari muda mudi alay, followersmu yang kian bejibun, aku belum bergeming.
Aku masih menaruh kesal di salah satu ruang hatiku, meski tak bisa kupungkiri cuap-cuap kala kau belum begitu tenar seringkali menyesakkan dadaku, membuatku rindu untuk menikmatinya sekali lagi.
Teruntuk Bung yang kukenal sebelum tenar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Serba Serbi 2024
Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...
-
Baru 2 bulan kuliah aja, identitasnya udah ilang. Kartu identitas ya. Sebiji kartu penanda untuk meyakinkan orang-orang kalo aku udah mahas...
-
Tulisan ini berangkat dari sebuah keresahan pribadi, melihat begitu rumitnya proses menuju yudisium hingga tak sedikit mahasiswa yang mesti...
-
PLISSSS, jangan masuk di Mapala kalau kesehatan (jiwa)mu tidak mau terganggu. Hidup dalam sebuah lingkaran dengan berbagai stigma neg...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar